Pak ustadz, terlebih dahulu kami mohon maaf, kami akan menanyakan tentang hukum mengonsumsi kopi luwak mengingat kopi itu adalah biji kopi yang memang dikonsumsi luwak kemudian keluar melalui duburnya. Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb. (Eko/Pemalang)
Jawaban
Assalamu ’alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah. Ketenaran kopi luwak sudah diketahui sejak lama. Namun kopi luwak ternyata dibuat dari biji kopi yang sebelumnya dimakan dan melewati saluran pencernaan luwak kemudian keluar melalui duburnya. Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan terutama dari sisi hukum fikih.
Untuk menjawab mengenai status hukum kopi luwak, maka ada baiknya kita melihat status hukum biji kopi luwak terlebih dahulu karena yang menjadi titik persoalannya adalah pada biji kopi luwaknya. Lantas bagaimana dengan pandangan fikih melihat biji kopi luwak tersebut?
Dalam pandangan para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i, apabila ada binatang yang memakan biji kemudian biji itu keluar dari perutnya dalam keadaan utuh, maka dalam konteks ini perlu dilihat.
Apabila kekerasan biji tersebut masih tetap terjaga sehingga sekiranya ditanam bisa tumbuh, maka status hukum biji tersebut adalah suci akan tetapi wajib dicuci bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis.
Artinya, “Para sahabat kami rahimahumullah (para ulama dari kalangan Madzhab Syafi‘i) berpendapat bahwa apabila seekor binatang memakan biji kemudian biji tersebut keluar dari perutnya dalam keadaan masih utuh. Dalam konteks ini apabila kekerasannya masih tetap di mana sekiranya ditanam akan tumbuh, maka biji tersebut adalah suci, akan tetapi harus dicuci permukaan atau bagian luarnya karena bersentuhan dengan najis,” (Lihat Muhayiddin Syarf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Jeddah, Maktabah Al-Irsyad, juz II, halaman 591).
Jika pandangan yang dikemukakan Imam Nawawi ini kita tarik dalam konteks pertanyaan di atas, maka pandangan ini mengandaikan, bahwa biji kopi yang dimakan luwak kemudian keluar lagi melalui duburnya, dan sepanjang kekerasannya masih tetap dan bisa ditanam kembali, maka masuk kategori barang suci yang terkena najis (mutanajjis) di mana bagian luarnya terkena najis sehingga bisa disucikan dengan cara dicucinya, sedang bagian dalamnya tidak najis.
Argumentasi rasional yang dibangun untuk meneguhkan pandangan ini adalah bahwa meskipun biji adalah makanan bagi binatang, namun biji tersebut tidak mengalami kerusakan. Hal ini sama dengan binatang yang menelan biji kemudian bijinya keluar. Bagian dalam biji tersebut adalah suci, sedang kulitnya adalah najis dan bisa suci dengan dicuci.
Berbeda kasusnya binatang menelan biji kemudian bijinya keluar namun kekerasannya telah hilang sehingga sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka dalam konteks ini biji tersebut statusnya adalah najis.
Artinya, “Sebab, kendatipun biji tersebut adalah makanan binatang namun tidak menjadi rusak. Karenanya menjadi seperti binatang yang menelan biji kemudian biji keluar (dari duburnya, penerjemah), maka bagian dalam biji tersebut adalah suci dan kulitnya menjadi suci dengan dicuci. Berbeda jika kekerasan biji tersebut telah hilang, di mana sekiranya ditanam tidak akan tumbuh, maka biji tersebut adalah najis,” (Lihat Muhyiddin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, juz II, halaman 591).
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqmamith thariq,
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
(Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Terpopuler
1
Kronologi Kecelakaan Maut Kereta Api Vs Kijang Rombongan Keluarga Pesantren Sidogiri
2
Cek Live Streaming Indonesia U-23 Vs Guinea U-23, Rebutkan Tiket Terakhir Olimpiade 2024
3
Khutbah Jumat: Urgensi Ukhuwah Insaniyah di Tengah Kehidupan
4
Lembaga Falakiyah PBNU Instruksikan Rukyatul Hilal Awal Dzulqa'dah 1445 H Sore Ini
5
Lembaga Falakiyah PBNU Ikhbarkan 1 Dzulqa’dah 1445 H Jatuh pada Jumat 10 Mei 2024
6
Khutbah Jumat: Larangan Keras Menelantarkan Anak
Terkini
Lihat Semua