Balitbang Kemenag HASIL RISET

Pembelajaran PAI di PTU Masih Menjemukan

Ahad, 4 Desember 2016 | 08:00 WIB

Pembelajaran PAI di PTU Masih Menjemukan

Ilustrasi (hbysyl.com)

Jakarta, NU Online
Perguruan tinggi umumnya sudah menerapan kebijakan PAI sebagai matakuliah yang mesti dipelajari di setiap program studi (prodi). Pihak kampus memasukkannya sebagai bagian dari kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK), sebagaimana tertuang dalam keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor 43 tahun 2006, yang serumpun dengan matakuliah PPKn dan Bahasa Indonesia.

Demikian hasil temuan riset Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kemenag RI pada tahun 2015 tentang penyelenggaraan PAI di delapan PTU, antara lain Universitas Tanjung Pura, Universtas Mataram, Universitas Hasanudin, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Universitas Jember, Universitas Andalas, dan Universitas Mulawarman.

Tentang sumber belajar PAI di PTU, diketahui bahwa sampai saat ini masing-masing PTU menyusun ataupun menerbitkan buku daras PAI yang dapat dijadikan pegangan para dosen PAI dalam perkuliahan. Ada juga PTU yang menggunakan sumber belajar berasal dari Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi) dan dari Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama. Buku-buku referensi yang digunakan adalah hasil musyawarah kesepakatan di tingkat koordinator dosen PAI.

Dari segi metode perkuliahan, hasil riset menunjukkan bahwa PAI disampaikan dengan cara yang cukup variatif, tapi yang kerap digunakan adalah metode ceramah atau kuliah mimbar, tanya jawab, dan diskusi. Dan hanya sedikit dosen PAI yang menggunakan metode brainstorming, small group discussion, role play, dan concept maps.

Hal ini “maklum” lantaran umumnya rasio perbandingan dosen dengan mahasiswa di PTU tak ideal. Jumlah mahasiswa yang terlalu banyak membuat perkuliahan diformat semacam kuliah umum dan hasilnya pembelajaran berpusat pada dosen (lecturer centered) yang cenderung menjemukan.

Karena itulah, Puslitbang Penda merekomendasikan perlu dipikirkan bagaimana mendorong dosen PAI dapat menggunakan metode perkuliahan yang lebih kreatif, inovatif, memikat, tapi sekaligus membumi dengan program studi mahasiswa. Dosen bisa memanfaatkan media, sarana, prasarana yang tersedia, juga waktu di luar kelas wajib yang memungkinkan pemberian materi tambahan.

Mengenai media pebelajaran, hampir setiap kampus mempunyai sejumlah perlengkapan penunjang seperti mesin proyektor, komputer, pemutar audio visual, atau lainnya. Sarana tempat ibadah, yakni masjid dan mushala, juga tersedia meski penggunaannya sebagai sentra lain penyelenggaraan PAI di luar jam resmi tak selalu sesuai dambaan. Kendala paling mencolok pada jamak PTU di Indonesia dalam hal sarana PAI adalah kurangnya koleksi perpustakaan seputar bahan bacaan agama Islam bagi mahasiswa. Ada kesan matakuliah PAI sekadar pelengkap SKS di tengah belantara matakuliah umum di kampus bersangkutan.

Dosen alumni perguruan tingi agama Islam (PTAI) juga tak menjamin kesanggupan untuk menyesuaikan diri dengan disiplin keilmuan di tempat mereka bertugas. Para dosen PAI sering kesulitan tatkala harus menjawab pertanyaan mahasiswa di bidang biogenetika, kedokteran, ekonomi, atau semacamnya. Artinya, ijazah dari PTAI bukan jaminan seorang dosen PAI menguasai kelas karena kebutuhan akan integrasi materi keagamaan dengan matakuliah yang menjadi fokus mahasiswa di PTU. Jika kendala tersebut muncul, kebijakan team teaching bisa diberlakukan, yakni dengan melibatkan dosen pakar lain untuk mengajar bersama dalam menjelaskan relasi agama dan sains, misalnya. (Mahbib)