Balitbang Kemenag

Praktik Literasi Al-Qur’an Anak Berkebutuhan Khusus Al-Achsaniyyah Kudus

Jum, 10 Mei 2019 | 23:30 WIB

Praktik Literasi Al-Qur’an Anak Berkebutuhan Khusus Al-Achsaniyyah Kudus

Suasana belajar di Pesantren Al-Achsaniyyah Kudus (foto: muaranews)

Salah satu penelitian Balai Litbang Agama Semarang, Badan Litbang Diklat Kemenag tahun 2018 adalah tentang praktik literasi Al-Qur'an di Pesantre Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Al-Achsaniyyah Kudus, Jawa Tengah. 
Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan November-Desember 2018. Sasaran atau subjek penelitian penelitian adalah santri-santri di Pesantren ABK Al-Achsaniyyah Kudus, khususnya yang berada pada kelas dengan kategori 'mandiri', serta para pengurus dan pengajar di pondok.

Pendekatan penelitian yang digunakan kualitatif dengan wawancara dan observasi sebagai teknik utama pengambilan data. Wawancara dilakukan dengan pengurus pondok, guru, dan para santri ABK. Observasi dilakukan saat kegiatan belajar mengajar pagi dan kegiatan mengaji di siang hari. Studi dokumen digunakan sebagai pelengkap dalam pengumpulan data. Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan mengumpulkan data, mereduksi data yang sesuai tema penelitian. Langkah selanjutnya adalah dengan mencari makna terdalam dari data yang telah terkumpul. Proses triangulasi data juga dilakukan untuk validasi data.
   
Pesantren Al-Achsaniyyah Kudus merupakan pesantren yang didirikan oleh HM Faiq Afthoni Rahman pada tahun 2007 yang sejak awal memang diperuntukkan pada Anak Berkebutuhan Khusus. Sejak tahun 2010, pesantren mulai menempati lokasi permanen yang merupakan tanah wakaf keluarga. Santri yang diterima di pesantren ini adalah mereka yang memiliki indikasi kebutuhan khusus. Meskipun bernama Pondok ABK, ternyata santrinya tidak hanya mereka yang berusia anak-anak. Jumlah santri saat penelitian dilakukan sebanyak 95 orang dengan jumlah staf pondok sebanyak 79 orang.

Tidak semua anak dengan gangguan perkembangan dapat diterima di pondok ini. Saat ini, pondok mengkhususkan pendidikannya untuk anak yang mengalami gangguan perkembangan autisme, ADHD, speech delay, slow learner, down syndrome, dan tuna rungu.

Santri Pesantren Al-Achsaniyyah berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Bahkan, ada santri yang berasal dari luar negeri. Keberadaan pesantren  ini sebagai satu-satunya pondok di Indonesia yang fokus pada santri ABK menjadi nilai jual tersendiri bagi pondok sehingga peminatnya pun cukup banyak. Namun, pihak pondok membatasi jumlah santri yang mereka terima dikarenakan keterbatasan tempat serta staf untuk merawat para santri.

Di pondok ini, para santri tak hanya belajar agama, tetapi juga difasilitasi dengan pendidikan SLB yang waktu pelaksanaannya dilaksanakan pagi hari. Ada sebagian kecil santri yang juga bersekolah di luar pondok karena perkembangan mereka yang lebih baik dibanding santri lainnya. Proses pendidikan dilakukan setiap hari Senin–Jumat dan Sabtu-Ahad digunakan sebagai hari khusus kunjungan dari keluarga santri sehingga mereka dibebaskan dari pembelajaran. 

Visi dari pesantren ini adalah membentuk pribadi yang 'Mandiri dan Unggul dalam Imtak' sehingga proses pendidikan dalam keseharian pun disesuaikan dengan visi tersebut. Pondok berusaha memaksimalkan perkembangan kemandirian, bakat dan minat anak sehingga mereka diharapkan bisa berkarya dan memanfaatkan potensi yang mereka miliki di masa mendatang di dunia luar pondok.

Salah satu kegiatan untuk mendukung tercapainya visi pondok dan sebagai ciri dari sebuah pendidikan Islam adalah adanya pendidikan diniyah. Pendidikan diniyah yang diajarkan di pondok ini tidaklah sama dengan pondok pada umumnya. Pendidikan diniyah di sini lebih diutamakan untuk mengenalkan anak pada huruf Hijaiyah dan surat-surat pendek sehingga santri bisa lebih mencintai Al-Qur'an. Dalam penelitian ini, kegiatan pendidikan diniyah ini disebut dengan istilah 'Praktik Literasi Al-Qur'an'.   

Temuan

Praktik Literasi Al-Qur’an di pesantren ini dimulai sejak Subuh, yaitu dengan membiasakan para santri untuk bangun pagi dan melaksanakan Shalat Subuh. Pesantren juga membiasakan santri untuk melaksanakan shalat lima waktu sehingga bisa sambil melatih hafalan surat dari para santri itu sendiri. Kegiatan mengaji kemudian diteruskan kembali seusai istirahat siang, yaitu di pukul 13.30 WIB, atau yang disebut juga dengan kegiatan diniyah. Materi yang diberikan saat kegiatan diniyah adalah membaca buku mengaji satu per satu dan diteruskan dengan hafalan surat-surat pendek. 

Santri di Pesantren ABK Al-Achsaniyyah Kudus dibagi menjadi dua kategori, yaitu mandiri dan nonmandiri. Santri yang menjadi sasaran penelitian ini adalah santri pada kategori mandiri. Mereka dikatakan mandiri jika mereka telah bisa melakukan komunikasi dua arah dan  mampu merawat diri sendiri tanpa bantuan (makan, minum, mandi, ganti pakaian) meskipun tetap dalam pengawasan guru. Lokasi kamar dan tempat sekolah santri mandiri terpisah dengan anak non mandiri supaya masing-masing dapat lebih fokus dalam belajar. Santri mandiri belajar sejak pagi hingga sore hari dengan menempati masjid pondok.  

Pengajar di pesantren dibagi menjadi tiga shift waktu, yaitu pagi, siang, dan malam. Guru yang bertanggungjawab untuk kegiatan diniyah adalah guru siang. Terdapat tiga guru yang mengajar di kelas mandiri, dan masing-masing guru bertanggungjawab pada satu kelompok santri. Santri pada kategori mandiri rata-rata sudah mampu membaca buku mengaji dan buku yang digunakan adalah Thoriqoh Baca Tulis dan Menghafal Al-Qur’an Yanbu’a yang diterbitkan oleh Pondok Tahfidh Yanbu’ul Qur’an Kudus.

Santri satu per satu mengaji sesuai dengan kemampuan mereka dan dicatat dalam kartu prestasi dan kemampuan tertinggi salah satu siswa kelompok mandiri sudah mencapai Jilid 3. Sebelum kegiatan mengaji dimulai, guru akan secara klasikal mengajak santri membaca berbagai doa dan shalawat. Kegiatan seusai mengaji satu per satu dilanjutkan dengan hafalan surat-surat pendek dalam juz amma. Pengkondisian semacam ini digunakan sebagai metode belajar oleh para guru di pondok.

Santri di Pesantren ABK Al-Achsaniyyah Kudus memiliki kecenderungan simtom yang hampir sama satu dengan lainnya. Salah satu simtom yang dimiliki santri yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran mengaji adalah kekonsistenan mereka dalam berperilaku. Beberapa santri ABK ini memiliki kecenderungan untuk mengulang-ulang perilaku yang sama. 

Oleh karena itu, setiap hari para guru terus menerus mengajak mereka untuk melaksanakan shalat lima waktu, mengaji, dan menghafal surat dalam Juz Amma. Jika setiap hari para santri mendapatkan stimulus yang sama dan berulang, mereka merekam dalam memori untuk kemudian mempraktikkannya dalam keseharian. Pembelajaran dengan conditioning atau pembiasaan menjadi salah satu metode yang cukup tepat diterapkan dalam Praktik Literasi Al-Qur'an di Pesantren ABK Al-Achsaniyyah Kudus.  Metode belajar lain yang juga digunakan oleh pengajar atau guru adalah dengan pemberian reinforcement (penguatan), dan punishment (hukuman) dalam proses pembelajaran. 

Guru menggunakan penguatan untuk mendorong santri mau memperhatikan guru untuk mengaji, menghafal, dan salat. Jika santri dapat menjawab pertanyaan atau mematuhi guru, guru akan memberikan penghargaan sederhana, misalnya pujian atau makanan kecil yang diizinkan untuk diberikan. Begitu juga sebaliknya dalam pemberian hukuman yang sifatnya hanya berupa ancaman. Jika santri terlihat kurang dapat dikendalikan maka guru akan memberikan gertakan hukuman, yaitu pemberian nilai rapor yang buruk. Sehingga, mereka tidak akan diizinkan pulang saat libur sekolah. Metode ini terlihat juga cukup mampu dalam mengendalikan santri.  

Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian ini, dihasilkan beberapa rekomendasi. Pertama, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Sosial perlu memfasilitasi berdirinya pondok pesantren di Indonesia, seperti Pesantren ABK Al-Achsaniyyah, mengingat tingginya antusiasme orang tua yang memiliki ABK untuk menyekolahkan putra-putri mereka di pondok ini.

Kedua, Kementerian Agama perlu merumuskan pedoman kurikulum tersendiri untuk pondok pesantren yang mengkhusukan diri pada pelayanan pendidikan bagi ABK, karena kurikulum pesantren yang umum belum tentu sesuai diterapkan pada pesantren ABK. (Kendi Setiawan)