Jakarta, NU Online
Toleransi bukan hanya untuk disuarakan. Lebih dari itu, toleransi perlu dialami dan dirasakan oleh masing-masing pribadi. Negeri dengan berjuta keragaman ini sarat akan perbedaan, mulai dari agama, suku, hingga bahasa.
Lebih dari itu, perbedaan juga merambah pada sektor lainnya, seperti fisik. Hal itulah yang dialami Fania Teola. Dara ini merasa dirinya merupakan warga minoritas yang berlapis. Pasalnya, ia bersuku Tionghoa, beragama Kristen, ditambah disabilitas pula.
“Aku merasa minoritas, aku orang Tionghoa, agama Kristen, jadi kayak dobel minoritas. Apalagi aku disabilitas juga. Triple (minoritas),” katanya kepada NU Online pada Rabu (10/7) di Graha Mitra, Lantai 2, Jl. Gatot Subroto Kav. 21, Jakarta.
Sebagai minoritas, rasanya ia ingin menunjukkan diri di tengah masyarakat umum bahwa ada saudara sebangsa setanah air yang sepertinya. Di samping ia juga perlu melihat orang lain yang berbeda latar belakangnya.
“Aku merasa orang butuh melihat aku juga. Mayoritas perlu tahu bahwa ada loh orang kayak gini. Aku merasa butuh orang lain yang beda dari aku,” terangnya.
Karenanya, Fania turut serta dalam program Sabang Merauke, sebuah kegiatan yang mempertemukan 20 peserta kakak mahasiswa dan 20 peserta di tingkat SMP yang hidup dalam sebuah keluarga di Jakarta dengan latar belakang budaya, suku, dan agama yang berbeda.
Rian, sebagai adik dalam program Sabang Merauke, merasa senang bisa bergabung dalam program tersebut. Sebagai orang Nusa Tenggara Timur, ia dapat berinteraksi dengan teman-teman dari berbagai daerah di Nusantara. Tentu dengan latar belakang budaya, suku, dan agama yang berbeda.
Toleransi mengajarkan Rian lebih percaya dan menghormati orang lain yang berbeda dengannya dari berbagai sisinya. Perbedaan itu, baginya, bukanlah dinding yang menjadi sekat antara dia dengan orang tersebut untuk tetap bersatu. “Karena perbedaan kita bukan halangan kita untuk bersatu,” kata anak usia SMP itu, “Walaupun kita berbeda kita tetap satu Indonesia,” imbuhnya.
Rian bercerita bahwa dirinya didaftarkan oleh gurunya untuk mengikuti program tersebut. Sepulangnya dari Jakarta, bersama gurunya tersebut, ia akan memperluas Teras Baca, yang sudah digagas oleh gurunya. Bocah yang lahir dengan orang tua berbeda agama itu juga siap untuk berbagi pengalamannya selama di ibukota kepada rekan-rekannya di daerah nanti, tentang arti penting toleransi yang tidak boleh merendahkan derajat dan martabat orang lain yang berbeda.
Fenti, salah satu orang tua asuh di Jakarta, mengaku senang dapat mengikuti program tersebut. Hal yang paling mengesankan baginya adalah harus bangun pagi buta. Pasalnya, dua kakak beradik yang ia terima merupakan Muslim sehingga pagi tersebut ia harus sudah bangun karena keluarga barunya itu harus shalat Subuh.
“Dari hal sederhana, teman-teman muslim harus sholat Subuh. Saya harus bangun lebih pagi,” ceritanya.
Sebelumnya ia sempat deg-degan siapa yang bakal terima karena belum mengetahui latar belakangnya. Namun, ia tidak perlu khawatir setelah mengetahui peserta yang tinggal di rumahnya merupakan santri dari sebuah pesantren.
Dalam kegiatan ini hadir pula Putri Indonesia 2018 Sonia Fergina Citra, Putri Indonesia Perdamaian 2017 Dea Goesti Rizkita Koswara, dan CEO Indika Foundation Aziz Armand. (Syakir NF/Abdullah Alawi )