Belasan Siswa Jatuh ke Sungai, 5 Diduga Tewas
NU Online · Selasa, 16 Desember 2003 | 03:47 WIB
Banda Aceh, NU Online
Sekitar 17 siswa yang menyeberangi sungai dengan rakit Teupin Peuraho, Desa Trieng Pantrang Kecamatan Lhoksukon, tenggelam Sabtu (13/12) pukul 07.20 WIB. Sekitar 17 murid terlihat hanyut, dan hingga petang kemarin, lima diantaranya diduga sudah meninggal. Hingga tadi malam, masyarakat dan Satgas Muara Marinir Batalion - VI, masih terus melakukan pencarian di sepanjang aliran sungai.
Pengamatan beberapa wartawan di lapangan Sabtu kemarin, masyarakat dan aparat, mengintensifkan pencarian dengan berbagai cara. Ada yang berjaga-jaga di sepanjang sungai, bahkan ada yang memasang jaring, dengan harapan jasad para siswa yang hanyut itu, tidak terlalu jauh terseret arus.
<>Para keluarga korban, terlihat panik dan sedih. Mereka mondar- mandir di sepanjang aliran sungai, dengan harapan secepatnya menemukan keluarganya. Tgk Ramli, ayah dari korban Sarina, misalnya. Dengan kain sarung dan baju ablong terlihat gelisah. Dia mondar-mandir di tepi sungai. Matanya terus memandang ke arah sungai di mana putrinya tenggelam.
Selain memasang perangkap, warga setempat juga menggunakan sampan pribadi untuk mencari lima anak-anak yang masih hilang di sepanjang sungai Keureutoe. Kepala Desa Trieng Pantang, Mansur Abdullah (35) mengaku, semua korban adalah warga desanya. Anak-anak itu tiap hari harus menyeberangi sungai untuk bersekolah ke Lhoksukon, atau Lhokseumawe, dengan memakai jasa rakit.
Keberadaan rakit di kawasan itu, kata Mansud Abdullah, sudah sejak puluhan tahun lalu. "Saya sendiri, dulu sekolah harus naik rakit Teupin Peuraho," kata Geusyik Mansur sambil memberi arahan kepada warganya untuk melakukan pencarian terhadap lima anak hilang itu.
Dia berharap dengan kejadian terbaliknya rakit tersebut hendaknya Pemda dapat memberikan perhatian serius membangunan jembatan penyeberang antara Desa Alue Keujruen dan Trieng Pantang
Berbagai aktivitas mesyarakat di Desa Trieng Pantang Sabtu kemarin vakum, bahkan semua ruko ditutup karena masyarakat terjun ke lokasi kejadian mencari korban dengan berbagai upaya. Banyak masyarakat terutama pemuda terlihat memakai celana pendek menyisir pinggiran sungai yang dikenal ganas dan rawan banjir.
Kelima korban yang sampai tadi masih dilakukan pencariannya oleh sejumlah warga dan pasukan Marinir Muara dengan menggunakan boat karet dan sampan adalah Nurjani (14) Siswa, Kelas II MTsN Lhoksukon, Sarmina (15) Siswa SLTP kelas-II, Nur Falita (14), Siswa kelas-I SLTP, Nurul Aflah (14) Kls-I SLTP, dan Muliana (14) Kelas-I SLTP. Semuanya korban tiap hari sekolah di Kecamatan Lhoksukon.
Sementara teman mereka yang lolos dari cengkeraman maut masing- masing Rohani (14), Maulida (13), Ilham (14), Mustafa (14), M Nasir (14), Chaidir (14), Nuraini (15), Fauzun (12), Hasman (17), Muhammad (13), Aidi (14) dan Makyed (13). Mereka berasal dari Trieng Pantang, Meunasah Leubok, Cot Geulumpang, Arongan dan Matang Sijuek Barat.
Menurut Mansur, desa Trieng Pantang sebenarnya dalam radius sekitar 200 meter dengan jalan negara Banda Aceh - Medan. Tapi akibat tidak ada jembatan penyeberangan, desa itu terisolir dan kalau ke Kota Lhoksukon harus menempuh jarak sekitar 7,5 Km dengan RBT dengan ongkos Rp 8000 sekali jalan. Padahal, kalau ada jembatan penyeberang, hanya ongkos bus ke Lhoksukon Rp 1.000 (Rp 2000/PP), ujar Geusyik Mansur.
Menurut beberapa tokoh masyarakat di Desa Trieng Pantang, kecelakaan seperti itu bukan hanya kali ini terjadi. Bahkan seorang anggota Polsek Lhoksukon sekitar tahun 1986 lalu juga tewas tenggelam saat terbalik boat. Namun, sampai sekarang belum juga ada perhatian dari pemerintah daerah. Sebelumnya memang daerah itu tak dapat dibuat jembatan karena sungai itu digunakan perusahaan ExxonMobil mengangkut alat-alat berat keperluan proyek.
Bahkan sungai itu dikeruk oleh perusahaan ExxonMobil tahun 1971 lalu guna mempercepat arus lintas angkutan barang-barang kebutuhan proyek. Karena itu, kedalaman sungai tersebut mencapai delapan sampai 10 meter. Sejak beberapa tahun lalu, perusahaan AS itu tidak lagi menggunakan jalur sungai tersebut, namun jembatan belum juga dibangun, kata Geusyik Mansur.
Sementara beberapa teman korban yang lolos dari maut itu, yakni Nur Hayani (13) siswa Kls-II MTsN Lhoksukon mengatakan, mereka tiap hari memang menggunakan rakit papan untuk menyeberang dengan uang Rp 200, sementara masyarakat biasa, Rp 500 sekali menyeberang PP. Secara kebetulan, kata Nur Hayani, Sabtu (13/12) kemarin, sebanyak 17 siswa naik bersama-sama untuk menyeberang menuju sekolah. Entah bagaimana, rakit itu goyang dan heleng sekitar 15 meter dari tepi sungai. Air kemudian masuk ke dalam rakit, sehingga membuat para pelajar ketakutan. Semua mereka melompat ke sungai menyelamatk
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menggali Hikmah Ibadah Haji dan Kurban
2
Khutbah Jumat: Menggapai Pahala Haji Meskipun Belum Berkesempatan ke Tanah Suci
3
Niat Puasa Dzulhijjah, Raih Keutamaannya
4
Pengrajin Asal Cianjur Sulap Tenda Mina Jadi Pondok Teduh dan Hijau
5
Khutbah Jumat: Persahabatan Sejati, Jalan Keselamatan Dunia dan Akhirat
6
Prabowo Serukan Solusi Dua Negara agar Konflik Israel-Palestina Reda
Terkini
Lihat Semua