Daerah

Benarkah Banyak BMT Terapkan Sistem Riba?

Ahad, 17 Desember 2017 | 00:00 WIB

Temanggung, NU Online
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di Indonesia masih banyak yang menerapkan sistem perekonomian yang hakikatnya riba. Hal itu dijelaskan Fatmawati Sungkawaningrum, dosen Ekonomi Syariah STAINU Temanggung dalam Seminar Ilmiah Dosen dengan artikel berjudul Bahaya Riba dalam Sistem Perekonomian, Sabtu (16/12).

"Baitul Maal wa Tamwil (BMT) di Indonesia adalah solusi bergeser dari sistem perekonomian Yahudi. Namun, praktiknya dalam akad yang substansi ada ribanya," beber Fatma.

Dicontohkannya, bank syariah menamakan hal itu qord atau utang-piutang.

"Namun kenyataannya, bukan qord atau qardi dan ada ribanya, denda ketika peminjam telat atau melewati batas waktu yang ditentukan maka dikenakan denda. Denda itulah riba. Selain itu, ada biaya-biaya lain seperti administrasi, pembiayaan, itu juga termasuk riba karena melanggar akad awal pinjam-meminjam," ujar dia.

Selain itu, masih banyak BMT dan Lembaga Keuangan Syariah yang menerapkan akad mudharabah, akan tetapi dalam praktiknya tidak ada satu pun syarat dan rukun mudharabah saat akad maupun pelaksanaan akad tersebut.

Ia mengatakan, sangat susah menerapkan sistem perbankan yang benar-benar sesuai syariah Islam. Ditegaskan jika ingin benar-benar terhindar dari riba, harus keluar dari dunia perbankan.

"Beruntunglah bagi orang Islam yang tidak mengenal perbankan," kata Fatma.

Sistem perekonomian di Indonesia saat ini dinilai masih dalam taraf menuju sistem ekonomi Islam, dan belum semuanya benar-benar menerapkan sistem ekonomi Islam.

"Sistem perekonomian, perbankan di Indonesia saat ini masih berusaha menuju syariah Islam yang sebenarnya," tukas dia.

Meski sudah ada hukum riba dari pendapat jumhur ulama terdiri atas halal, haram dan subhat, ia mendorong untuk tidak melakukan praktik riba.

"Kalau mau benar-benar bersih dari riba, ya saat menabung, ada bunganya tapi tidak perlu diambil," ujar dia. (Ibda/Kendi Setiawan)