Daerah

Buku Islam Mazhab Cinta Dibedah di Pesantren Nusantara

NU Online  ·  Ahad, 21 Januari 2018 | 09:05 WIB

Depok, NU Online
Buku berjudul Islam Mazhab Cinta: Cara Sufi Memandang Dunia karya Mukti Ali Qusyaeri dibedah di Pesantren Nusantara Jl HM Ali No 111 Tanah Baru, Beji, Depok, Sabtu (20/1). Selain Mukti Ali, hadir sebagai narasumber Hj Wiwi Siti Sajaroh, Dosen Akhlak Tasawuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam presentasinya, intelektual muda NU kelahiran Cirebon ini mengatakan buku yang ia tulis tersebut dilatarbelakangi keprihatinan tentang sufisme di Indonesia.

“Dulu sufisme bukan sekedar ilmu atau amaliyah. Tapi sebagai cara pandang untuk mengurai persoalan,” ujar Mukti di hadapan para santri dan sejumlah undangan.

Setelah masa kolonial, lanjut Mukti, ada satu benturan antara kita dan kolonialisme. Sebab, cara pandang kolonialisme lebih kepada hukum. “Padahal cara pandang warga Nusantara adalah sufisme. Sampai di sini, sufisme tergerus oleh cara pandang hukum sehingga yang menonjol kemudian fiqih dan syariat Islam,” paparnya.

Menurutnya, era kolonial menempatkan sufisme sebagai etika saja. Sementara cara pandang yang digunakan adalah syariat Islam. “Nah, melalui buku ini saya ingin sufisme yang pernah jadi cara pandang itu dikembalikan lagi,” kata alumnus Pesantren Lirboyo Kediri ini.

Mukti beralasan, karena cara pandang syariat itu oleh sebagian kelompok ideologi transnasional itu disebut sebagai cara pandang teologis. Ia ingin mengajukan ulama Nusantara tempo dulu yang merawat sufisme sebagai cara pandang untuk melihat berbagai persoalan umat.

“Nusantara ini bisa kokoh karena dijahit oleh cara pandang sufisme. Kenapa bisa kokoh, ini semua karena sufisme. Yang memperkeruh justru dominannya hukum dan tauhid. Buku ini merespons realita itu agar dibaca dengan cara pandang sufisme,” jelas Mukti.

Pria lulusan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini juga menyebut sejumlah kalangan yang menuduh sufisme sebagai penyebab kemunduran Islam. “Mereka sebut salah satunya karena istilah uzlah. Padahal kalau membaca dari sumber aslinya, uzlah tidak seperti yang mereka pahami. Kata uzlah tidak mengisolir manusia dari dunia,” tegasnya.

Sebelumnya, Pengasuh Pesantren Nusantara KH Munawar M Ali dalam sambutan mengatakan, pihaknya sangat berbahagia atas terselenggaranya bedah buku. Ia juga mengapreasiasi tim paduan suara para siswa SMP 8 Jakarta yang menyanyikan lagu Indonesia Raya sehingga menambah khidmatnya acara.

“Bedah buku ini dilakukan agar para santri terbiasa berpikir dan terbuka atas perbedaan. Kita tentu ingat dengan pesan Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari bahwa wajib hukumnya menjaga Nusantara. Apalagi sekarang banyak fitnah merajalela,” kata Munawar Ali.

Sementara itu, Hj Wiwi Siti Sajaroh sebagai narasumber menyatakan ada sejumlah label miring yang dilekatkan kepada kaum sufi. Misalnya jumud, zindiq, dan kafir. “Ini label dan cap yang dituduhkan kepada tasawuf dan kaum sufi sehingga masyarakat awam melihat sesuatu yang salah dalam kelompok ini,” katanya.

Ia menyebut buku tersebut sangat komprehensif. Meski demikian, jika ditulis menjadi disertasi perlu dibatasi, namun mendalam. Secara khusus, ia mengomentari judulnya. “Kalau boleh, saya mau ganti judulnya bukan Islam Mazhab Cinta, tapi Tarian Tasawuf dalam Tabuhan Zaman. Karena saya melihat tasawuf bisa berkembang dalam kondisi apapun,” ujar Wiwi. (Musthofa Asrori/Alhafiz K)