Daerah

Gus Ulil Paparkan Tiga Tingkatan Puasa menurut Kitab Ihya’

Ahad, 2 Juni 2019 | 16:59 WIB

Gus Ulil Paparkan Tiga Tingkatan Puasa menurut Kitab Ihya’

Gus Ulil saat mengisi Lailatul Kopdar di Kajen

Pati, NU Online
Menurut kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali, terdapat tiga tingkatan dalam berpuasa. Pertama, صوم العموم (puasa orang umum atau awam). Kedua, صوم الخصوص (puasa orang khusus). Ketiga, صوم خصوص الخصوص (puasa orang yang terkhusus).

KH Ulil Abshar Abdalla alias Gus Ulil memaparkan hal tersebut saat didaulat mengisi kopi darat Ngaji Ihya’ yang diberi nama Lailatul Kopdar di Masjid Saud Sultan Institut Pesantren Mathali’ul Falah Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, Sabtu (1/6/2019) malam. Acara ini diinisiasi Tim Aktivitas Ramadhan (TAR) kampus IPMAFA.

Menurut Gus Ulil, dalam kitab Ihya’ pembaca tak sekedar belajar tentang puasa. Namun, lebih kepada rahasia puasa (asrar al-shiyam). Dalam kitab tersebut dijelaskan adanya tiga tingkatan dalam puasa. صوم العموم itu puasanya orang-orang yang hanya menahan perut dari rasa lapar.

“Kedua, صوم الخصوص yaitu puasanya orang-orang yang mencegah seluruh anggota badannya dari maksiat. Ketiga, صوم خصوص الخصوص puasanya orang-orang yang bisa melepaskan diri dari ikatan-ikatan selain Allah. Yang terakhir ini tingkatannya para wali atau kekasih Allah,” terangnya.

Mempelajari kitab Ihya’, lanjut Gus Ulil, minimal membuat kita mengetahui adanya derajat ilmu yang sangat tinggi kendati kita sadar tidak bisa mencapai ke titik tersebut. Minimal kita bisa menjadi جاهل ويدري انه جاهل  (iso rumongso, lan ora romongso iso). Sadar bahwa dirinya masih bodoh. 

Menurut pria kelahiran Pati ini, keunggulan kitab Ihya’ antara lain adanya seorang ulama yang berkata, andaikata semua buku di dunia ini terbakar dan hanya satu kitab yang tertinggal yaitu Ihya’ Ulumuddin, maka itu cukup menjadi panduan hidup bagi kaum muslimin di dunia maupun di akhirat.

“Keunggulan dan keampuhan kitab Ihya’ ini dipuji banyak kalangan karena kitab ini merupakan kitab pertama yang mampu menjembatani antara ilmu thariqah dan ilmu syari’at secara damai,” ungkap Gus Ulil.

Keberhasilan Imam al-Ghazali dalam mengarang kitab Ihya’ menjadikan banyak kalangan menerima begitu mudah. Di antara faktor yang menjadikan keberhasilan Imam al-Ghazali adalah, pertama, bahwa ia merupakan ahli tasawuf yang memiliki nalar akademik sangat kuat dan kemampuan intelektual yang dahsyat.

“Tak hanya satu disiplin ilmu. Namun, di berbagai disiplin ilmu pengetahuan di mana para ulama terdahulu tidak memilikinya. Tak berlebihan jika sang guru, yakni Imam al-Haramain, menjuluki Imam al-Ghazali sebagai Bahrul Muthi’, atau samudera yang menenggelamkan,” tandasnya.

Kedua, lanjut Gus Ulil, Imam al-Ghazali memiliki kepribadian yang unik. Ia mempunyai pengalaman dramatis dan pernah pula mengalami krisis spiritual. Suatu ketika, Imam al-Ghazali merasa tidak percaya kepada siapapun.

“Sampai beliau berada di titik tidak bisa berbicara selama tiga bulan. Lalu, beliau memilih meninggalkan semua jabatan duniawi untuk kemudian menjadi sufi, bertapa kurang lebih 10 tahun. Di sela-sela uzlah inilah beliau menggarap kitab Ihya’,” pungkasnya. (Musthofa Asrori)