Daerah

Kendala Siswa di Perbatasan dengan Sistem Zonasi

Jum, 28 Juni 2019 | 06:30 WIB

Kendala Siswa di Perbatasan dengan Sistem Zonasi

Ilustrasi (Asian Aid)

Jember, NU Online
Keriuhan pro-kontra  Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi, tampaknya belum akan berakhir. Setidaknya, hingga saat ini unjukrasa kerap berlangsung memprotes kebijakan tersebut. Pemerintah sendiri  rupanya juga masih coba-coba dengan keputusannya menggunakan sistem zonasi. Terbukti, saat unjuk rasa terjadi di sana-sini karena banyak peserta didik tidak bisa masuk sekolah yang diinginkan akibat terbentur kuota atau jarak, pemerintah mengambil opsi melebarkan zonasi dan menambah rombongan belajar (rombel).

Menurut Ketua Mahasiswa Ahli Thoriqoh Annahdyiyah (MATAN) Cabang Jember, Jawa Timur, Nurul Ghufron, kegelisahan masyarakat  dengan penerapan zonasi karena salah satunya telah memunculkan ketidakadilan. Pasalnya, dengan sistem zonasi, tiap wilayah memiliki zona yang berbeda-beda. Dengan zona yang berbeda-beda itu, timbul ketidakadilan.

“Dan ketidakadilan tentu melanggar konstitusi,” tukasnya kepada NU Online di Jember, Kamis (27/6) malam.

Ketidakadilan itu muncul karena penerimaan peserta didik baru dilaksanakan sesuai dengan kewenangan daerah, misalnya untuk SMP adalah kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sedangkan SMA kewenangannya berada di tingkat provinsi.

Baca juga: Zonasi untuk Pemerataan Kualitas Pendidikan

Nurul lantas mencontohkan seorang peserta didik yang tinggal di perbatasan Jember dan Lumajang. Misalnya tempat tinggal dia di Kecamatan Sumberbaru, Kabupaten Jember, yang bisa jadi jaraknya lebih dekat dengan sekolah di Kecamatan Jatiroto, Kabaupaten Lumajang. 

“Kalau menurut aturan (zonasi) dia tidak boleh sekolah di Jatiroto walaupun lebih dekat, tapi harus sekolah di zona Kabupaten Jember. Ini bagaimana bisa dikatakan adil,” lanjutnya.

Dekan Fakultas Hukum Universias Jember itu menambahkan, sistem zonasi tak ubahnya bagai pemaksaan. Peserta didik dipaksa untuk belajar di sekolah dekat rumahnya.  Sehingga hak warga untuk memilih pendidikan yang disukai, lenyap.

“Padahal boleh jadi di tempat lain, ia sudah punya gambaran yang membuatnya lebih semangat dalam belajar,” ucapnya.

Dikatakannya, yang dibutuhkan saat ini adalah pemerataan SDM (sumber daya manusia), fasilitas dan sarana prasarana sekolah. Jika pemerataan itu tidak dilakukan, maka sistem zonasi tidak akan banyak membantu dalam mendongkrak prestasi siswa.

“Yang ada hanya akan menimbulkan ketidakadilan,” pungkasnya. (Aryudi AR)