Daerah

Kisah Tukang Sapu Berkurban Sapi

Jum, 18 Oktober 2013 | 10:00 WIB

Probolinggo, NU Online
Melakukan kurban di hari raya Idul Adha tidak harus menunggu kaya. Asal ada niatan yang sungguh-sungguh, setiap orang pasti bisa melaksanakan kewajiban tahunan tersebut. Prinsip itulah yang dipegang Teguh Mulyadi (43 tahun), seorang tukang sapu yang tinggal di Kelurahan Ketapang Kecamatan Kademangan Kota Probolinggo, Jawa Timur.
<>
Atas tekad itulah, tahun ini Mulyadi melaksanakan ibadah kurban berupa satu ekor sapi. Sapi tersebut disembelih di halaman Masjid Karimul Ikhsan Kelurahan Ketapang Kecamatan Kademangan Kota Probolinggo bersama dengan 6 ekor sapid an 13 ekor kambing lainnya.

Kendati penghasilannya hanya Rp 350 ribu setiap bulan, tetapi pria kelahiran Desa Pulosari Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ini bisa berkorban seekor sapi seharga sekitar Rp 15 jutaan. Sapi keturunan limosin itu diberikan Mulyadi ke panitia kurban Masjid Karimul Ikhsan sehari sebelum pelaksanaan sholat Idul Adha 10 Dzulhijjah 1434 H.

Dibandingkan dengan yang lain, sapi pemberian Mulyadi paling besar. Apalagi sapi betina tersebut sudah beranak enak kali. Sapi berkulit putih itu, diperolehnya dari Pemerintah Kota Probolinggo yang merupakan bantuan dari Dinas Pertanian dan Peternakan. Setelah dipelihara dengan sistem gado sekitar enam tahun, sapi itu kini sudah menjadi miliknya.

“Kami sudah menyerahkan salah satu anakannya ke Dinas Pertanian dan Peternakan. Dan sekarang sapi itu milik kami,” ujar Mulyadi yang diangguki oleh istrinya Sunarti kepada NU Online, Kamis (17/10).

Pasangan suami istri ini mengaku rencana akan berkorban sudah ada sejak lama yakni beberapa bulan setelah sapi diterima. Mereka bernadzar akan mengikhlaskan sapinya untuk korban setelah beranak enam. Niat dan janji itupun dapat terlaksana tahun ini.

Meskipun sapinya telah disembelih, bukan berarti Mulyadi tidak memiliki sapi. Ia kini masih merawat seekor sapi yang merupakan anakan keenam dari sapi yang untuk korban tersebut.

Sapi berbulu merah itu untuk persiapan jika ada kebutuhan mendadak. Seperti untuk membayar sekolah anak semata wayangnya yang kini duduk dibangku kelas XII SMKN2 Kota Probolinggo.“Kalau ada kebutuhan tidak terduga, misalnya kebutuhan rumah tangga ata sekolah anak, kami akan jual. Hasilnya untuk kebutuhan seperti yang saya sebutkan dan sebagian untuk membeli sapi lagi yang lebih kecil,” jelasnya.

Hal seperti itu dilakukan lantaran Mulyadi hanya memiliki penghasilan Rp 350 ribu setiap bulan. Sedangkan istrinya, sebagai ibu rumah tangga yang tidak bekerja.

Bersama anak semata wayangnya, Mulyadi bersama istrinya tinggal di Kantor Kelurahan Ketapang. Mereka bertiga menempati salah satu ruangan berukuran lebar empat dan panjang sekitar 15 meter, yang disulap menyerupai rumah. Ruangan atau gudang yang los itu, kemudian disekat dengan triplek menjadi tiga bagian. Ruangan untuk tamu, dua ruang tidur dan dapur. Sementara kandang sapinya terpisah sekitar 15 meter di belakang rumah.

Lelaki pendiam ini sejak tahun 2004 tinggal dan menjadi tukang sapu di kantor kelurahan. Saat pertama bekerja hingga beberapa tahun ia hanya digaji Rp 25 ribu per bulan. Itupun gajinya diterima setiap tiga bulan sekali. Bahkan sampai sekarang, gaji sebesar Rp 350 ribu, ia terima setiap tiga bulan.

“Waktu digaji Rp 25 ribu, saya tidak betah dan ingin meninggalkan kantor kelurahan dan pekerjaan. Tetapi bersama istri saya coba untuk terus bersabar dan ikhlas menjalani pekerjaan ini hingga saat ini,” terangnya.

Meski belum memiliki rumah, pasutri ini tetap melaksanakan nadzar atau janjinya. Sapi yang dipelihara sejak tahun 2005 itu dikorbankan. Tidak dijual yang hasilnya sejatinya bisa untuk membeli atau menyicil tanah kavling. Sunarti berharap ridho dan barokah dari Allah dari nadzar yang telah dilaksanakannya. Kelak, jika dirinya dan suaminya sudah berumur, anak satu-satunya mampu membeli rumah. Itulah harapan Sunarti.

Karenanya, sejak kecil ia mendidik anaknya bertingkah laku baik sesuai ajaran agama dan berhemat. Dari kelas X hingga kelas XII, uang saku sekolah anaknya hanya Rp 3000. Sunarti tidak menambah uang saku. Bahkan meski anaknya meminta tambahan, dengan alasan makanan kue di sekolahnya mahal. “Uang dari mana, pokoknya uang segitu harus cukup,” tegasnya.

Mengenai gaji suaminya yang sangat minim, Sunarti mengaku cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Terbukti, ia tidak memiliki hutang ke siapapun, termasuk ke Bank Perkreditan Desa (BPD) yang berada di depan rumahnya. Untuk membantu menambah penghasilan, perempuan berjilbab ini mengaku menjual mie siap saji dan minuman teh dan kopi, di kantor kelurahan. Ia juga aktif di berbagai kegiatan kelurahan serta pengajian.

Selain menjadi tukang sapu, pria yang jarang bicara ini kegiatannya hanya mencari rumput untuk ternaknya. Terkadang mencari ikan atau kerang untuk mengisi kekosongan. Hasilnya ia jual untuk kebutuhan lauk keluarganya. “Harapan kami, ya seperti istri saya. Kami tidak menolak kalau ada bantuan kambing atau sapi lagi,” pungkasnya. (Syamsul Akbar/Mahbib)