Daerah

Mendirikan Sekolah Terpadu dengan Modal Istighotsah

Sab, 1 Juni 2019 | 00:00 WIB

Mendirikan Sekolah Terpadu dengan Modal Istighotsah

Gus Muhammad Zaki

Jombang, NU Online
Bagi sebagian kalangan, Ramadhan memiliki makna yang demikian mendalam. Peristiwa penting dan bahkan di luar nalar acap terjadi mengiringi bulan penuh rahmat tersebut. Salah satunya yang dialami pengasuh pesantren di Jombang, Jawa Timur ini.

Bagi Gus Muhammad Zaki, Ramadhan memiliki makna demikian spesial. Peristiwa tersebut tepatnya terjadi enam tahun silam. Betapa tidak, dengan ‘hanya’ bermodalkan istighotsah, akhirnya Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al-Masruriyah, Tebuireng, Jombang tersebut bisa mendirikan SMP Terpadu Al-Chodidjah.

“Malam Ramadhan seperti ini mengingatkan saya pada peristiwa enam tahun silam, ketika diperintah seorang kiai agar mendirikan pondok sendiri,” katanya, Sabtu (1/6). 

Mendapat ‘perintah’ itu, Gus Zaki, sapaan akrabnya mengatakan bahwa hal tersebut mustahil dapat dilakukan. “Mana mungkin, lha wong saya baru saja menggali pondasi rumah, dua bulan lalu,” ungkapnya.

Tapi karena dorongan kuat, akhirnya putra pasangan KH Hadzik Mahbub dan Hj Chodidjah Hasyim tersebut harus menjual sebuah tempat usaha yang belum lama dibeli. “Alhamdulillah laku Rp150 juta dan saya jadikan pondasi pondok dengan berbekal besi beton pemberian seseorang,” kenangnya.

Demi mempercepat proses pembangunan, Ketua Pengurus Wilayah (PW) Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Jawa Timur tersebut memanfaatkan tukang yang semula mengerjakan rumahnya. “Saya hentikan agar pindah ke lokasi pondok yang hendak dibangun,” jelasnya. 

Ternyata, berjalan tiga bulan, pondasi pondok selesai dan tukang kembali mengerjakan rumah. “Tahun 2015 sebelum Ramadhan, alhamdulillah rumah selesai,” kata alumni Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Proboliggo ini. 

Antara tahun 2013 hingga 2015, setiap kali melewati lokasi rumah yang sedang dibangun, mesti melewati tiang pondasi pondok. “Dan setiap kali melewatinya, saya sampaikan salam kepada pondasi, serta saya yakinkan bahwa kelak akan menjadi sebuah bangunan bermanfaat,” ujarnya.

Berikutnya, di 23 Ramadhan 2015, dirinya sowan kepada kiai yang memerintah agar mendirikan pondok. “Kepada beliau saya sampaikan bahwa tiang pondasi sudah berdiri dua tahun lalu. Saya tidak punya uang untuk melanjutkan pembangunan,” ungkapnya. 

Akhirnya kiai dimaksud menyampaikan bahwa pada 27 Ramadhan akan melakukan istighotsah di tiang pondasi. “Saya bingung, lha wong lokasi tiang pondasi itu sudah jadi semak belukar. Tanpa listrik, tanpa atap atau bahkan sudah jadi sarang ular,” kisahnya.

Lagi-lagi muncul keyakinan dalam benaknya bahwa istighotsah harus digelar. “Bulan Juli 2015 yang bertepatan dengan Ramadhan, istighotsah dilaksanakan. Alhamdulillah, setelah Muktamar NU, saya bisa mengecor tiga lokal min haitsu la yahtasib,” ungkap kiai kelahiran 13 Agustus tersebut.

Usai pengecoran, pembangunan dihentikan. “Ya, karena tidak punya uang,” terang alumnus Pesantren Miftahul Huda, Gading, Malang ini.

Kendati demikian, tradisi istighotsah terus dilakukan, bahkan berhasil membentuk jamiyah istighotsah. “Tahun 2017, alhamdulillah tiga lokal yang akan dijadikan sekolah selesai,” katanya.

Masalah selesai? Ternyata tidak. “Begitu akan membikin sekolah, bingung mau ditaruh di mana santri yang ada,” ungkap gus yang pernah mondok di Pesantren Al- Mathlab, Kolak, Ngadiluwih, Kediri ini.

Dalam suasana bingung, sang istri memberi saran agar santrinya ditaruh di rumah yang sudah jadi. “Wah, ini ide bagus,” celetuknya. 

Usai mendapatkan kepastian tersebut, dirinya melanjutkan dengan memberesi perizinan agar sekolah memiliki legalitas yang sah menurut hukum. “Syukurlah semua berjalan sesuai harapan. Seluruhnya saya kerjakan sendiri, baik ke dinas pendidikan ataupun ke dinas perizinan karena memang belum mampu membayar tenaga administrasi,” akunya. 

Berikutnya adalah rekrutmen kepala sekolah dan guru mulai dilakukan. “Saya cari sendiri dan yakinkan bahwa sekolah serta pondok ini akan maju. Alhamdulillah saya diberi Allah guru-guru yang luar biasa,” bangganya.
Dengan sejumlah ikhtiar tersebut akhirnya SMP Terpadu Al-Chodidjah Tebuireng Jombang yang khusus menerima peserta didik putri bisa berdiri.

“Saya sempat mikir, apa bisa sekolah ini eksis, sementara ada Pondok Tebuireng yang sinarnya luar biasa terang dengan semua unit pendidikannya luar biasa. Ngelu juga mikirnya,” candanya.

Suatu ketika, saat malam berdua dengan istri, sambil mengendarai mobil, dirinya memikirkan sekolah dimaksud. “Sampai di suatu pertigaan, saya harus berhenti agak lama karena dari arah berlawanan ada mobil menyalakan lampu sign atau riting yang sangat terang pertanda akan berbelok,” ungkapnya. 

Ternyata justru dari itulah Gus Zaki mendapat ilham. “Jika Tebuireng laksana mercusuar yang sinarnya putih, maka saya harus memancarkan sinar berwarna lain agar terlihat oleh yang lain,” ujarnya.

Dari situlah akhirnya sekolah diputuskan hanya menerima peserta didik putri saja, tidak full day, tapi mereka harus mondok. “Harus punya keunggulan yang bisa dirasakan orang tua, utamanya pembentukan karakter anak,” terangnya.

Gus Zaki bersyukur lantaran hampir tiga tahun pesantren dan SMP Terpadu Al-Chodidjah berdiri dan mendapatkan kepercayaan orang tua dan masyarakat. “Itulah yang menopang kami,” sergahnya.

Penambahan motivasi diberikan kepada tenaga pengajar. “Saya sampaikan kepada para guru, tahun ketiga ketika sudah melaksanakan Ujian Nasional, sekolah kita harus masuk rangking sekolah swasta terbaik paling tidak di Kabupaten Jombang,” jelasnya. 

Untuk bisa meraih hal tersebut tentu tidak ringan. “Berat memang, tapi harus ada ikhtiar,” tegasnya.

Ayah lima anak ini memiliki obsesi bahwa sekolah harus terintegrasi dengan pondok. “Para santri tidak perlu keluar area pondok untuk pergi ke sekolah,” katanya.

Yang juga menjadi nilai lebih dari sekolah yang menjadi impiannya ini adalah jauh dari keramaian dan kebisingan. “Kami juga mengombinasikan antara kehidupan pesantren salaf berbasis Al-Qur’an dengan kurikulum nasional,” jelasnya. 

Menurutnya, Ramadhan memberikan banyak hikmah dan pelajaran. “Saya merasa, saat istighotsah itu mendapat lailatul qadar,” ungkapnya.

Dari sejumlah perjalanan yang penuh liku itu, dirinya juga memiliki kebulatan tekad. “Jika punya cita-cita, raihlah. Tidak perlu takut dan jangan menyerah,” pesannya.

Gus Zaki juga tidak menampik kiprah banyak kalangan dalam mewujudkan harap mulia tersebut. “Alhamdulillah pula saya punya sahabat-sahabat hebat yang mensupport ikhtiar ini,” tandasnya. (Ibnu Nawawi)