Daerah

Mengenal KH Ahmad Muthohhar, Pengasuh Pesantren Futuhiyah

Rab, 26 Juni 2019 | 10:00 WIB

Demak, NU Online
Setiap kiai memiliki karakteristik tersendiri, terlebih kiai yang terbilang sebagai ulama tarekat. Banyak kisah berharga yang dapat diambil hikmah dan pelajaran berharga bagi kehidupan. Tidak dipungkiri pula banyak hal luar biasa terjadi yang menurut ukuran manusia pada umumnya sulit dan bahkan mustahil dilakukan.

Pada kesempatan ini kami mengajak pembaca untuk mengenal sosok almaghfurlah KH Ahmad Muthohhar bin Abdurrohman. Yang bersangkutan adalah Pengasuh Pondok Pesantren Futuhiyah, Suburan Barat, Mranggen, Demak, Jawa tengah sebagai sebuah teladan bagi kehidupan manusia, khususnya para santri. 

Di masanya, kediamannya juga dihuni oleh ratusan santri dan terus berkembang sebagai kompleks ndalem atau Darul Ma'wa (sekarang Pondok Pesantren Darul Ma'wa).

KH Ahmad Muthohhar merupakan anak kedelapan atau putra kelima dari KH Abdurrohman bin Qashidil Haq, pendiri Pondok Pesantren Futuhiyyah dari pasangan Hj Shofiyyah binti KH Abu Mi’raj bin Kiai Syamsuddin Penggaron Semarang (dulu masih berada di wilayah Kabupaten Demak).

Sedangkan urutan putra dan putri dari KH Andurrohman bin Qashidil Haq adalah sebagai berikut:
1. Hafshah (lahir di kapal dalam perjalanannya menuju ke tanah suci dan meninggal di Jakarta dalam perjalanannya pulang ke tanah air)
2. KH Utsman (wafat tahun 1967 M)
3. Bashirah (wafat sewaktu kecil)
4. KH Muslih (wafat tahun 1981 M)
5. KH Muradi (wafat tahun 1980 M)
6. Rahmah (wafat sewaktu kecil)
7. KH Fathan (wafat tahun 1945 M)
8. KH Ahmad Muthohar (wafat tahun 2005 M)
9. Hj Rahmah Muniri (almarhumah)
10. Faqih (wafat sewaktu kecil)
11. Tasbihah Muhri

Nama Mbah Mad, demikian para santri biasa menyebutnya, disebut sebagai kiai yang tidak pernah ke mana-mana namun memiliki santri di mana saja. Hal demikian ini kerap dituturkan oleh putranya, KH Abdul Hadi Muthohhar, dalam berbagai kesempatan.

"Mbah Mad niku mboten nate ten pundi-pundi tapi gadah santri ten pundi kemawon (Mbah Mad itu tidak pernah ke mana-mana, tapi memiliki santri di mana saja, red)," katanya. Keterangan atas pernyataan ini kerap dipertegas dengan pengakuan orang-orang yang ditemui, baik semasa aktif sebagai dosen maupun dari para tamu yang sowan ke kediamannya.

Selain memiliki banyak santri dan murid tarekat, Mbah Mad juga seorang kiai yang sederhana. Hal ini tampak dari banyak hal, di antaranya rumah yang didiami hanya beralaskan ubin tegel biasa, dan di ruang tamunya hanya digelari karpet dan sebuah meja dan kursi beserta lampu belajar sebagai tempat mengajar santri. Kondisi tersebut berbanding terbalik dari semua gedung bangunan yang sudah mengalami perbaikan kala itu.

Semasa mengasuh pesantren, Mbah Mad mengajar langsung di ruang tamu, dan menjadi imam shalat di Masjid An-Nur Futuhiyah. Tak hanya menjadi imam shalat, kedisiplinannya dalam jamaah shalat juga tampak dari seringnya ngoyaki (mengajak) para santri untuk berjamaah, meski bel tanda jamaah sudah dibunyikan oleh pengurus.

Mbah Mad memang dikenal tak pernah meninggalkan shalat jamaah, terbukti juga menjadi makmum dalam setiap shalatnya di waktu dirawat di rumah sakit. Penulis mendapati dua kali peristiwa tersebut, yakni ketika dirawat di RSUP dr Kariyadi (dulu masih RSUD). Hal serupa juga diungkapkan para ustadz dan khadimnya dulu.

Selain dalam hal shalat jamaah, Mbah Mad juga seorang kiai yang disiplin dalam mengajar. Diungkapkan oleh Abah Had, sapaan akrab KH Abdul Hadi Muthohhar, bahwasanya keistikamahan mengajar santrinya sangat luar biasa, bahkan tak terpengaruh oleh adanya kabar duka. 

Suatu ketika KH Ahmad Muthohhar menerima kedatangan tamu yang membawa jenazah putrinya yang meninggal karena kecelakaan. Dengan tenang, Mbah Mad menerima jenazah tersebut dengan bertanya seperlunya saja. "Datang peti mati mbakyu kulo. Berarti anak kandung njih. Kiai, niki putranipun panjenengan kecelakaan," kata Abah Had menirukan si pembawa jenazah.

"Inna lillahi wa innaa ilaihi rajiun. Oh... ya wes dokokno gon kono.” (Oh, ya sudah, letakkan saja di situ (keranda). red) ucapnya.

Setelah menerima peti mati tersebut Mbah Mad kembali meneruskan mengajar sampai waktunya selesai. Seusai mengaji para santri langsung diajak menshalati. "Wes, wes saiki ayo podo dishalati (sudah, sudah sekarang mari kita shalati. red). Ekspresinya demikian tenang, datar-datar saja, tak menunjukkan raut kesedihan mendalam.

Ketenangan Mbah Mad tak hanya terlihat saat mendapati musibah, bahkan ketika KH Abdul Hadi mengabarkan dirinya telah menjadi seorang doktor juga tak menunjukkan ekspresi senang atau bahagia yang berlebihan. Tetap tenang dan datar-datar saja.

Selain itu, Mbah Mad juga seorang kiai yang memperhatikan kegiatan muamalah. Hal tersebut dibuktikan dalam hal aktifitasnya berkeliling di Pasar Mranggen pada pagi hari untuk sekadar memberikan nasihat pada pedagang.

Almarhum KH Hasan Anwar, Mursyid Kholidiyyah Naqsabandiyah dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Islah Tanggungharjo Grobogan merupakan murid KH Muslih dan KH A Muthohhar berpendapat bahwa Mbah Mad sangat memperhatikan akhirat dibanding dunia. 

"Kiai Mad niku ngejar akhirat mangka donyane ngetut," tuturnya. (Kiai Mad itu mengejar akhirat, maka dunia dengan sendirinya mengikuti. red)

Selayang pandang tentang tindakan yang luar biasa, di luar kemampuan manusia pada umum. Tentunya banyak hal juga yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia secara lahiriah namun kiranya kurang tepat dan kurang etis dijadikan sebagai produk jurnalistik. 

Sebuah gambaran ringkas teladan dari seorang pejuang laskar Hizbullah, ulama ahli terkat dan pimpinan Jamiyah Ahluth Thariqah Mu'tabarah An- Nahdliyyah (JATMAN) yang berjuang menahan gempuran Orde Baru sekaligus pengasuh sebuah pesantren yang dikenal sebagai pusatnya tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah.

Tulisan ini merupakan sekelumit kisah tentang keistimewaan salah satu kiai tarekat putra KH Abdurrohman bin Qashidil Haq. Tentunya masih banyak keistimewaan lain yang dijumpai para santri senior dan yang lebih lama nyantri atau berkhidmah untuk KH Ahmad Muthohhar. (Ahmad Rifqi Hidayat/Ibnu Nawawi)