Daerah

Penafsiran Absolut Picu Radikalisme Agama

NU Online  ·  Senin, 25 November 2013 | 05:07 WIB

Jepara, NU Online
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah H Abu Hafsin menyatakan radikalisme agama salah satu aspeknya bersumber dari penafsiran absolut. Penafsiran absolut merujuk pada pemahaman keagamaan yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran.
<>
Hal itu dikemukakannya dalam seminar bersama kiai se-Jepara dengan tajuk “Pesantren Sebagai Benteng Antisipasi Deradikalisme” yang berlangsung di Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang desa Gemiring Lor kecamatan Nalumsari kabupaten Jepara, Jawa Tengah, Ahad (24/11).

Menurutnya, penafsiran itu dipahaminya sebagai pemahaman mutlak. “Mereka memahami apa yang diyakininya ialah yang paling benar sendiri. Sehingga penafsiran menjadi kaku. Maka dari itu akan timbul konflik nilai,” katanya kepada sejumlah pengasuh pesantren yang hadir.

Penafsiran yang kaku, jelas lelaki kelahiran Kuningan, Jawa Barat, tidak hanya berlaku di Islam. Di Amerika, kaum fundamental golongan kulit putih penganut Protestan yang hanya memperlajari al-kitab pada Sunday School—inzil dipelajari sepekan sekali juga demikian.

Di Indonesia pun sama. Bisa jadi karena belajar agamanya separo-separo. Atau belajarnya lama tetapi tidak mau berkomunikasi dengan kelompok lain. 

Penafsiran kedua, agama ditafsirkan secara scriptural (tekstual). Dalam hal ini, NU sambungnya menafsirkan agama dengan kontekstual sehingga bisa menerima Pancasila dan NKRI. Fatwa Mbah Hasyim untuk melakukan jihad mempertahankan NKRI jelas-jelas pemaknaan kontekstual beliau, tegasnya. 

Pemahaman berikutnya ditafsirkan secara parsial (mistik). Agama hanya berkutat pada term kafirun, dholimun dan fasiqun. Dan hal itu, ungkapnya, penafsiran menjadi tidak bijaksana. Tidak benar juga agama ditafsirkan dengan romantis. Yang dikenang baik-baiknya saja. Tanpa ada pemahaman yang mendalam, pungkas Abu Hafsin. (Syaiful Mustaqim/Alhafiz K)