Daerah

Penggunaaan Pengeras Suara Jadi Bahasan Bahtsul Masail NU Jatim

Kam, 10 Januari 2019 | 01:00 WIB

Surabaya, NU Online
Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBM NU) Jawa Timur akan menyelenggarakan pertemuan rutin.  Kegiatan akan diselenggarakan di Pondok Pesantren al-Falah, Madiun pada Sabtu hingga Ahad (12-13/1).

Salah satu masalah yang akan menjadi perbincangan adalah terkait pembatasan pengeras suara di masjid dan mushalla yang menjadi polemik. “Ya, terkait masalah ini akan dibahas di komisi c yakni komisi qanuniyah atau perundangan,” kata KH Ahmad Asyhar Shofyan, Kamis (10/1).

Menurut Ketua PW LBM NU Jatim ini, mengingatkan bahwa tahun 1978 pemerintah sudah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam yang tertuang pada Nomor Kep/D/101/1978 tentang penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan mushalla. 

“Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla,” jelasnya.

Secara rinci Kiai Asyhar menjelaskan bahwa aturan tersebut mengatur sejumlah hal. Yakni penggunaan pengeras suara dilakukan yang orang terampil dan bukan yang mencoba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau mushalla. 

“Di aturan itu disebutkan bahwa pengguna pengeras suara yakni muadzin, imam salat, pembaca al-Qur’an, dan sejenisnya hendaknya memiliki suara fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil,” jelasnya. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan, lanjutnya.

“Dari masalah yang masuk tersebut, pertanyaan yang mengemuka adalah adakah batasan aturan secara fiqhi dalam mengeraskan suara adzan dan semisalnya.  baik  dalam lingkungan yang homogen ataupun heterogen,” kata Ustadz Ahmad Muntaha.

Juga dalam konsep Islam, bolehkah pemerintah mengintervensi aturan teknis ibadah masyarakatnya semisal adzan, shalat Jumat, shalat ied dan sebagainya. “Bila boleh, bagaimana batasannya,” ungkap Sekretaris PW LBM NU Jatim tersebut.

Di ujung bahtsul masail  tersebut nantinya, Ustadz Muntaha mengemukakan bahwa juga akan dibahas seputar kesunnahan meninggikan suara. “Termasuk bagaimana bila suara tersebut menjangkau ke tempat jauh menjadi gugur dengan aturan pemerintah untuk membatasi volumenya,” tandasnya.

Bahtsul masail tersebut akan juga membahas sejumlah persoalan yang berasal dari usulan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama se-Jawa Timur. Baik yang berhubungan dengan persoalan maudluiyah maupun waqiiyah. (Ibnu Nawawi)