Daerah

Peran Santri dalam Perjalanan Bangsa Indonesia Dikupas

NU Online  ·  Senin, 29 Oktober 2018 | 07:00 WIB

Tangerang Selatan, NU Online
Maraknya gerakan politik yang mengatasnamakan Islam bersamaan dengan makin menghangatnya suhu politik jelang Pemilu dan Pilpres 2019, mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan.

Menyikapi kondisi ini, Lembaga Perekonomian Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Tangerang Selatan terpanggil untuk mengadakan diskusi mengenai peran santri dan dedikasinya untuk negeri yang turut membahas narasi-narasi intoleran dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. acara diskusi diadakan bekerjasama dengan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Tangsel di Taman Jajan Cemara, dengan tema "Dedikasi Santri Untuk Negeri",  Ahad (28/10), siang.

Acara yang juga dalam rangkaian Hari Santri tersebut didahului dengan pawai santri lewat tiga titik keberangkatan, dari Pondok Pesantren Darussunnah, Pisangan, Pesantren Ats-tsanyah Buaran, dan Pesantren Jam'iyah Islamiyah Pondok Aren.

Tiga pemateri yang memiliki latar belakang pendidikan pesantren duduk bersama. Mereka adalah Makyun Subuki alumnus Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Rahmat Kemat alumnus Pesantren Al-Awabin yang juga merupakan Penasehat Lembaga Perekonomian PCNU Kota Tangerang Selatan dan Mixil Mina Munir alumnus pesantren Ilmu Al-Quran. Hadir pula dalam diskusi ini,  Irnanda Laksanawan, Wakil Ketua Lembaga Perekonomian PBNU.

Rahmat Kemat menuturkan, hal penting yang menjadi tujuan kegiatan ini ialah mengafirmasi peran historis dari sosiologis santri dalam proses pendirian dan perjalanan bangsa. Di samping itu, seluruh rangkaian adalah bagian dari upaya meperteguh komitmen santri terhadap PBNU (Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945).

"Kegiatan ini juga dalam rangka memperkuat narasi keislaman dan kebangsaan di kalangan generasi milenial melalui berbagai saluran, media dan budaya populer," ungkap Kemat.

Menurutnya, penting adanya semacam injeksi kepada para santri yang masih menuntut ilmu di pesantren agar mereka mampu melakukan counter narasi terhadap keompok dan ideologi dari luar yang ingin megubah wajah ramah Islam yang ada di Nusantara. 

Kelompok-kelompok itu sudah jauh masuk dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan, tentang istilah pesanten sendiri yang merupakan ciri khas lembaga pendidikan Islam berhaluan Aswaja di Indonesia, kini mengalami pluralisasi makna tidak lagi selalu merujuk ke pesantren-pesanten NU, tapi juga pada kalangan-kalangn yang dekat dengan kelompok radikal anti-NKRI.

"Belum lama di Bogor, ada pesantren Ibnu Masy'ud yang menolak mengibarkan bendera merah putih saat 17 Agustus," terang Kemat.

Ia berharap rekan-rekan yang duduk di parlemen mampu memperjuangkan RUU tentang pesantren sebelum disahkan dalam bentuk aturan, yang secara spesifik mendefinisikan apa itu pesantren, kurikulumnya, dan seterusnya. Sehingga pesanten menjadi subkultur yang distingtif dibanding lembaga penddidikan islam yang lain. Agar tidak setiap orang bisa mengklaim sebagai pesantren.

"SDIT-SDIT dan pesantren-pesantren Salafi-Wahabi yang ada saat ini, misalnya, tidak merujuk pada tradisi keilmuan Aswaja yang sanadnya bersambung," jelas Kemat.

Sementara itu, Makyun Subuki, yang juga Kepala Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Jakarta, menyoroti perang diskurus, utamanya di ranah teknologi komunikasi dan media sosial. 

Ia mengatakan, kelompok-kelompok Islam intoleran itu memang lebih di depan karena mereka lebih dulu mengenal dunia Barat termasuk teknologi baru kemudian mengenal Islam. Mereka memanfaatkan teknologi itu untuk menyebarkan Islam ala mereka. Sementara kalangan santri aswaja mengenal Islam dulu baru kemudian kenal teknologi. Sehingga wajar ketinggalan.

Tak hanya diskusi, LPNU Tangsel pada kegiatan tersebut juga mengadakan kegiatan yang memperkuat peran dan kontribusi santri dalam upaya dalam menghidupkan UMKM dan ekonomi kreatif di kalangan nahdliyin dengan seusai diskusi mengadakan workshop sablon yang dipandu oleh para seniman sablon dari Koloni Tangsel. (MS Wibowo/Abdullah Alawi)