Daerah

Rais NU Jateng: Tawuran Pelajar Akibat Rendahnya Pahami Keindahan Sastra

Kam, 5 Maret 2020 | 16:00 WIB

Rais NU Jateng: Tawuran Pelajar Akibat Rendahnya Pahami Keindahan Sastra

Rais PWNU Jateng, KH Ubaidullah Shodaqoh (tengah pegang mic) (Foto: NU Online/Samsul Huda)

Semarang, NU Online
Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah KH Ubaidullah Shodaqoh mengatakan, aksi tawuran antarsiswa yang sering terjadi di kota-kota besar akhir-akhir ini karena minimnya kemampuan pelajar dalam mengetahui dan memahami tentang indahnya sastra.

"Diduga kuat aksi-aksi tawuran dan kekerasan di lingkungan pelajar dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang sastra. Jangankan merangkai, menikmati untaian kalimat-kalimat yang indah saja  mereka tidak mampu, bahkan gagal paham, mereka berhenti pada tekstual saja," katanya.
 
Hal itu disampaikan Gus Ubaid panggilan akrabnya di sela berlangsungnya agenda parade kiai menulis dan membaca puisi di Semarang, Rabu (4/3) malam.
 
Acara yang berlangsung di halaman parkir Sekretariat PWNU Jateng, Jl Dr Cipto  180 Semarang ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan peringatan hari lahir (harlah) ke-97 NU yang diselenggarakan PWNU Jateng tanggal 2-8 Maret 2020.
 
Menurutnya, kondisi ini menjadi salah satu penyebab hati mereka menjadi semakin keras, sehingga tidak bisa menikmati kelembutan kalimat dan kata-kata indah yang sarat dengan  makna.
 
Akan menjadi berbeda lanjutnya, kalau seseorang mampu mengetahui dan memahami sastra maka hatinya akan lembut tidak keras. Karena itu, semestinya para peserta didik atau pelajar perlu didorong untuk bisa memahami sastra yang lebih mendalam.
 
"Pelajar dibekali dengan materi sastra agar mampu memahami sekaligus  menikmati indahnya karya sastra Indonesia tidak mudah, karena sangat minimnya acuan atau pedoman. Namun demikian sesulit apapun harus ditempuh agar sastra mampu menaklukkan kekerasan mereka," tegasnya.

Hal ini ujarnya, sangat berbeda dengan sastra Arab yang memiliki banyak pedoman, meski rumit namun panduannya jelas. Misalnya materi sastra Arab yang diajarkan di pesantren-pesantren besar di Indonesia salah satunya menggunakan kita Uqudul Juman sebagai rujukan.
 
"Kitab ini berisi pedoman karya sastra yang lengkap dan rumit. Kaidah sastra di kitab ini satu demi satu digambarkan secara urut dan runut. Setelah tuntas memahami kitab ini, masih dibutuhkan latihan-latihan kontekstualisasi teks - teks yang ada sehingga setiap kata dapat diartikulasikan," paparnya.
 
"Para sastrawan sufi tidak lagi melakukan artikulasi kata, tetapi lebih dalam lagi yakni, yang dilakukan adalah artikilasi amal," tambahnya.
 
H Masruhan Syamsuri, penyair yang  juga  politisi sependapat dengan Gus Ubaid, sastra dapat melenturkan yang keras, termasuk di ranah politik praktis.
 
"Kalau politisi mampu memahami kelembutan sastra sekaligus mengaktualisasikannya, maka politik akan menjadi indah dan nyaman untuk dinikmati," tuturnya seusai  membacakan puisi ciptaannya dalam acara itu.
Karenan itulah, Masrukan sangat gigih dalam mendorong para politisi lintas partai sejawatnya untuk menyempatkan diri mendalami sastra agar jagad politik nasional suasananya semakin indah dan jauh dari rasa ketegangan para kiai.
 
Tokoh-tokoh yang membacakan puisinya dalam parade puisi ini di antaranya KH Ubaidullah Shodaqoh, KH Muzammil (NU Jateng), Mahsun (UIN Walisongo), Prof   Muhdi (UPGRIS), Prof Musahadi (UIN Walisongo), Dian Nafik (PP Al Muayyad Solo), KH Ahmad Munif (NU Jateng), Gus Yusuf Chudlori (PKB Jateng), Masruhan Syamsuri (PPP Jateng), Bejo Santoso (Unissula), Prof Muzakka Musaif (Undip), KH Kholison (NU Jateng), dan sebagainya.
 
Kontributor: Samsul Huda
Editor: Abdul Muiz