Daerah

Sambut Harlah Lesbumi, Pesantren Kaliopak Hadirkan Bioskop Alternatif

NU Online  ·  Senin, 26 Maret 2018 | 02:00 WIB

Yogyakarta, NU Online
Menyambut hari lahir atau harlah ke-54 Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), tepatnya 28 Maret mendatang. Pondok Pesantren Kaliopak Yogyakarta kembali menghidupkan Gadjah Wong Cinema sebagai bioskop alternatif di kota pendidikan ini.

Kegiatan yang menggandeng Lesbumi DI Yogyakarta tersebut menampilkan screening film The Long March Siliwangi (Usmar Ismail, 1950), Antebing Kalbu (Ridwan B E - 2016) dan Prajurit Ali (Ram Nura - 2016)  di Kedai Kopi Djong Java, Jl. Munggur Condongcatur, Sleman, Sabtu (24/3) malam.

Gadjah Wong Cinema sendiri sudah ada sejak tahun 2012. Namun, vakum di tahun 2016. Sebagai bioskop alternatif, Gadjah Wong Cinema sudah pernah melaksanakan pemutaran film keliling dan workshop. Sekaligus menjadi ruang komunikasi bagi sineas Yogyakarta.

Ma'ruf Alkhadad, Lurah Pesantren Kaliopak, mengatakan kegiatan bertujuan mengenang kembali sosok Usmar Ismail dan Asrul Sani sebagai bapak sineas Indonesia sekaligus tokoh Lesbumi melalui karya filmnya.

"Kami ingin masyarakat, khususnya nahdliyin kenal dengan tokoh Lesbumi dari karya-karyanya," kata Ma'ruf, Ahad (25/3).
Santri asal Pekalongan Jawa Tengah ini, berharap adanya screening film-film yang berkualitas, baik secara visual maupun pesannya, mampu membangkitkan perfilman di Indonesia.

"Penting bagi santri untuk tahu perkembangan perfilman di Indonesia. Paling tidak, kedepan akan kembali muncul sineas-sineas asal pesantren," ungkap Ma'ruf didampingi Direktur Gadjah Wong Cinema Zahid Asmara.

The Long March Siliwangi, Karya Usmar Ismail yang digarap pada tahun 1950 diklaim sebagai film pertama di Indonesia yang menjadi tanda peringatan Hari Film Nasional. Film yang berkisah tentang situasi hijrahnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada awal 1949 setelah rentetan penyerangan Belanda dalam aksi Polisional.

Antebing Kalbu (2016) merupakan film berlatar perang gerilya melawan Belanda. Cipto dan Wiro merupakan dua karakter kuat dalam film yang kurang lebih berdurasi sepuluh menit. Dua pribumi ini melarikan diri dari medan perang sebab keputusasaan yang mendalam melawan Belanda. Film karya Ridwan B E tersebut diproduksi oleh Rumah Bareng Film.

Sedangkan Prajurit Ali (2015) karya Ram Nura, sang sutradara muda yang aktif memproduksi film, adalah adaptasi dari cerpen Sepercik Maaf dari Prajurit Ali karya Randy Ramdhan, diproduksi oleh Napak Lemah. 

Film ini mengisahkan pengkhianatan seorang prajurit yang membocorkan rahasia kepada musuh. Disuguhkan dengan gaya simotis-sikologis. (Khanif Rosidin/Ibnu Nawawi)