Daerah

Sayur Daun Kelor, Kuah Khas Masyarakat Madura

Sel, 12 Juli 2016 | 06:03 WIB

Sumenep, NU Online
Selain memiliki budaya carok dalam urusan-urusan tertentu, ternyata masyarakat Madura juga mempunyai kekhasan tersendiri dalam hal aneka makanan setiap harinya.

Makanan tersebut adalah sayur daun kelor yang diolah menjadi kuah makanan dengan bumbu-bumbu yang sangat sederhana, misalnya bawang putih, bawang merah, garam dan bumbu yang lain.

Kuah tersebut mayoritas dicampur dengan nasi merah (beras jagung) dan terasi. Meskipun sederhana, namun diminati masyarakat Madura di sejumlah daerah, bahkan warga dari semua wilayah Madura (Kabupaten Sumenep, Pamekasan, Sampang dan Bangkalan) memiliki kekhasan serupa.

Dalam momentum lebaran hingga pada tujuh hari bulan Syawal misalnya, aneka ragam makanan biasa disuguhkan di setiap rumah. Hal ini memang disediakan untuk setiap tamu (sanak famili, kerabat, teman dekat, sahabat dan semacamnya) yang hendak bershilaturrahim.

Namun demikian, sang pemiliki rumah juga tak ketinggalan menyediakan kuah daun kelor tersebut sebagai salah satu tambahan hidangannya. Artinya, mereka tak mau mengesampingkan kekhasan makanan meskipun dalam suasana harus makan yang dianggap lebih nyaman.

Menariknya, dari beberapa macam makanan yang dihidangkan, kuah yang terbuat dari daun kelor lah menjadi pilihan menu utama mereka. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa daun kelor sebagai penyela dari berbagai makanan selama momen lebaran.

Masyarakat Madura, khususnya Sumenep mayoritas memiliki pohon kelor yang memang ditanam sejak kecil di dekat rumah, sawah atau kebun, bahkan sebagian mereka menanamnya tepat di depan rumah sebagai sandaran kekes (pagar yang terbuat dari bambu) tatkala pohon tersebut sudah tumbuh besar, kemudian diikat dengan tali yang kuat.

Hal tersebut menunjukkan masyarakat terkait justru lebih senang merawat kekhasan yang sudah berjalan lama meski sangat sederhana, daripada harus berburu bermacam makanan yang terus berkembang hingga saat ini. Selain itu, juga sangat ekonomis, warga Madura tak pernah membelinya di pasar-pasar tradisional. (Syamsul Arifin/Fathoni)