Daerah

Sekolah 5 Hari, Pengkhianatan Mendikbud kepada Madrasah Diniyah

Sel, 13 Juni 2017 | 10:47 WIB

Pringsewu, NU Online
Berbagai reaksi muncul dari kebijakan baru Menteri Pendidikan tentang 5 hari sekolah. Model baru alokasi waktu belajar pelajar ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 23 Tahun 2017 yang diterbitkan tanggal 12 Juni 2017.

Menurut Rektor Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Prof. Muhammad Mukri, pemberlakuan 5 hari sekolah merupakan kebijakan yang seharusnya diwacanakan terlebih dahulu. Sehingga menurutnya kebijakan ini perlu dipertanyakan motifnya.

"Kebijakan super strategis kok tidak diwacanakan dulu. Patut dipertanyakn motifnya apa?" ujar Mustasyar PWNU Provinsi Lampung ini, Senin (12/6).

Hal ini diamini Prof. Aom Karomani yang juga merupakan Wakil Rektor Universitas Lampung. Ia menegaskan, kebijakan itu tidak mempertimbangkan aspek sejarah dan sosiologis masyarakat.

"Itu (kebijakan 5 hari sekolah) akan mematikan ratusan ribu madrasah," tegasnya.

Menurut Wakil Ketua PWNU Provinsi Lampung itu, kebijakan tersebut mengabaikan realitas sosiologis bangsa Indonesia yang secara historis bahwa madrasah sudah lama hadir di tengah tengah masyarakat.

Ia mencontohkan bagaimana sudah lama madrasah di daerahnya yang sudah eksis dan mandiri dalam pengelolaan institusi serta memberikan kontribusi besar dan nyata terhadap pendidikan generasi bangsa.

"Di kampung kami hampir satu abad madrasah dan pesantren itu mandiri tanpa ada bantuan dari negara. Jika pendidikan diniyahnya dimatikan dengan kebijakan Mendikbud tersebut maka lengkaplah pengkhianatan pemerintah terhadap institusi pendidikan tersebut," tegasnya.

Ia menambahkan bahwa dua institusi pendidikan yaitu sekolah dan madrasah, utamanya di desa-desa, sudah sekian lama berdampingan saling melengkapi untuk mendidik anak anak bangsa. Di pagi hari fokus kurikulumnya pada pendidikan umum dan madrasah di sore hari fokus kurikulum pendidikannya pada agama.

"Jadi di masyarakat pedesaan yang ada madrasah-madrasahnya utamanya seperti itu. Makanya saya menyarankan hendaknya kajian lapangannya secara sosiologis dipertajam. Jadi kita tidak berbicara sektoral atau parsial apalagi personal tapi komprehensif untuk kepentingan anak-anak kita ke depan," pungkasnya. (Muhammad Faizin/Abdullah Alawi)