Daerah

Tedur, Tetabuhan di Bulan Puasa Pernah Usir Penjajah

NU Online  ·  Kamis, 8 Juni 2017 | 21:02 WIB

Purworejo, NU Online
Tetabuhan beduk dan kentongan mengalun ritmik dari Masjid Shiddiq Zarkasyi Kompleks Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan setiap tengah malam selama bulan Ramadhan. Tradisi tetabuhan bernama 'tedur' itu adalah peninggalan Wali Songo yang masih dilestarikan hingga sekarang. Bahkan saat masa penjajahan, tedur turut berperan mengusir penjajah.

Pada masa awal perkembangan Islam di pulau Jawa, beduk dan kentongan menjadi penanda masuknya waktu shalat. Ketika beduk dan kentongan dipukul, orang kemudian berbondong-bondong ke masjid atau musala untuk melaksanakan shalat berjamaah.

Meski saat ini zaman sudah berubah dengan banyaknya peralatan modern sebagai pengganti beduk atau kentongan, namun peninggalan para pendahulu tidak serta merta ditinggalkan begitu saja. Sesuatu yang baik layak dilestarikan sebagai pengingat sejarah.

"Dengan melestarikan tradisi Wali Songo yang sangat baik ini, akan membuat pahala para wali yang menciptakan beduk dan kentongan sebagai pemanggil shalat terus mengalir," kata pengasuh Ponpes An-Nawawi KH Achmad Chalwani, di depan para santri, baru-baru ini.

Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah ini menuturkan, selain menjadi penanda waktu shalat, beduk dan kentongan ini juga ditabuh dalam momentum-momentum tertentu seperti menjelang Ramadhan, sepanjang tengah malam selama Ramadhan, menjelang hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Tetabuhan momentum-momentum tertentu itulah yang disebut tedur.

"Kalau di sini ketukan pukulan beduk dan kentongan antara waktu shalat satu dengan yang lain berbeda-beda. Kalau tedur, pukulannya lebih ritmik," terangnya.

Ketika ditanya asal muasal nama tedur, KH Chalwani mengaku tidak begitu paham. Nama itu telah turun temurun dipakai sejak zaman dahulu. Di Purworejo, tradisi tedur tidak hanya dilakukan di Berjan saja. Namun Pesantren dan masjid di desa-desa juga banyak yang melakukannya.

"Memang saat ini, tedur tidak lagi sesemangat zaman dulu. Maka di An-Nawawi saya memberikan penekanan kepada para santri agar tedur tetap dilestarikan agar tidak punah termakan zaman," ujarnya.

Dalam perjalanan sejarahnya, tedur pernah berjasa turut serta berperan mengusir penjajah Belanda. Ceritanya, saat tentara Belanda melakukan patroli, dari kejauhan terdengar suara beduk ditabuh.

Kemudian para tentara itu berhenti dan bertanya kepada warga perihal suara tedur yang sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Dijawablah oleh warga jika suara itu adalah suara santri sedang tedur.

"Mendengar jawaban tersebut, Belanda ketakutan dan berkata keheranan sambil balik kanan, tedurnya santri aja kayak gitu, kalau bangun terus gimana, ya?" tiru KH Chalwani, diikuti gelak tawa para santri.

Menurutnya, itu cerita turun-temurun yang ia meyakini kebenarannya sebagai bagian dari keistimewaan tradisi tedur. (Lukman Khakim, Ahmad Naufa)