Opini

Banggèl ke Rumah Manusia

Jum, 27 Maret 2020 | 22:14 WIB

Banggèl ke Rumah Manusia

Ilustrasi: wallpaperflare.com

Tahun 1931 adalah masa terberat bagi bangsa kita sebelum merengkuh kemerdekaan. Demi menghadapi itu, Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak kandung RA Kartini—yang lazim dipanggil Pangeran Jenius dari Jawa, memulai laku bathinnya ke Langkat, Sumatera, memenuhi undangan Sultan Mahmud. Sang pemimpin masygul melihat rakyatnya bergelimpangan akibat sakit berkepanjangan. Ditambah sulitnya mendapatkan bahan pangan. Wabah kelaparan merebak di mana tempat.

Ajaib. Kedatangan Sosro si Mandor Klungsu (biji asam) yang memang sudah terkenal sebagai penyembuh derita manusia, segera tersebar ke seantero Langkat. Alhasil berjubelanlah orang-orang guna mendapatkan kesembuhan, dan memang, mereka semua sembuh. Hanya dengan meminum air yang dicelup jari telunjuk Sosrokartono.

Kendati begitu. Eyang Sosro tetap pada pendiriannya. Seluruh jamuan khas istana ia tampik. Saban hari ia hanya makan dua buah lombok (cabai merah/rawit), dan tidur di bawah pohon, untuk meruwat kondisi umat manusia zaman itu. Perjalanan tirakatnya kemudian berlanjut sampai ke Lhokseumawe, Sibolga, Padang, Jambi, dan Lampung. Menghabiskan waktu hingga 40 hari dan malam lamanya. Setiap tempat yang ia sambangi, pasti diguyur hujan deras, banjir bandang, lalu kemudian memunculkan tirta husada. Semacam mata air yang masih ada hingga kini.

Selain para sultan dari daerah yang ia singgahi, orang-orang Belanda yang tidak mendukung kolonialisme pun, banyak yang mendatanginya tuk mengharap belas kasihan. Sepanjang masa bertirakat itu, tubuh Eyang Sosro kian ringkih. Perawakannya yang tinggi langsing, semakin menampakkan berat kondisi yang ia tanggung sendirian. Hari-hari menyesakkan itu ia lalui dengan tekun memanjatkan doa ke langit tertinggi.

"Gusti Ingkang Moho Agung, Gusti Ingkang Mohokuwoso, mugi-mugi kaparingana kabul ingkang dados maksud lan kajatipun poro umat sadoyo. Mugi-mugi rentoho welas lan ngapuraning Gusti dumateng poro umat. Gusti, Gusti mugi karso ndowohaken samodro ning berkah dateng poro umat, nyirnakaken sagunging susah lan sakit, paring wewahing sugeng lan senengipun poro kawulo.

Ya, Tuhan, Hyang Maha Agung, Hyang Mahakuasa, semoga Tuhan berkenan mengabulkan maksud dan kehendak umat semua. Semoga Tuhan menaruh belas kasihan dan memberi maaf kepada para umat. Ya, Tuhan, semoga Tuhan berkenan memberikan berkat yang sebesar-besarnya kepada para umat, dan menghilangkan segala susah, sakit, serta memberi tambahan selamat-senang kepada para umat."

Setiba ia di Bandung, Bung Karno sedang bersiap melanjutkan masa pembuangannya dari Ende ke Bengkulu. Janin republik sedang diperam Ibu Pertiwi. Di balai pengobatan Darussalam, "Joko Pring" Sosrokartono kembali melanjutkan tugas mulianya. Menyambut Zaman Bergerak dengan segenap jiwa raga.

Situasi yang nyaris sama kini kita hadapi. Tiga bulan sudah kita hidup bersama pandemi. Masa sulit begini harus ada yang tetap tenang. Mesti ada yang meruwatnya. Mari bertirakat. Caranya mudah sekali. Kurangi apa pun yang selama ini menyenangkan bagi kita. Kalau doyan makan, kurangi. Hobi medsosan, tarik ke dalam diri. Senang beranjangsana, diamlah di rumah yang hakiki. 

Apa yang Harus Dipelajari?
Skenario panik global yang kini berdengung di mana-mana, berhasil memunculkan kekacauan dan keputusasaan. Sesuai rumusannya, orang yang panik akan lebih mudah dimanipulasi oleh pihak yang sedari awal telah merencanakan agenda tersebut. Sekarang mari kita telaah pesan yang apik dari Bapak Kedokteran Modern, Ibn Sina (l. 22 Agustus 980 - w. 22 Juni 1037), “Kepanikan adalah separuh penyakit. Ketenangan adalah separuh obat, dan kesabaran adalah permulaan kesembuhan.”

Lantas bagaimana sejarah mengajari kita terkait pandemi kiwari? 

Pertama, ini menyiratkan bahwa kita tidak dapat melindungi diri sendiri dengan menutup perbatasan kehidupan antarmanusia secara permanen. Ingatlah bahwa pandemi menyebar dengan cepat bahkan di Abad Pertengahan, jauh sebelum zaman globalisasi. Jadi, bahkan jika Anda mengurangi koneksi global ke level Inggris masa 1348–itu masih belum cukup. Bahkan untuk benar-benar melindungi diri Anda melalui isolasi, kembali menuju Abad Pertengahan pun takkan berguna. Anda harus pergi ke Zaman Batu. Bisakah kita melakukannya sekarang?

Kedua, sejarah menunjukkan bahwa perlindungan nyata berasal dari berbagi informasi ilmiah yang dapat diandalkan, dan dari solidaritas global. Ketika satu negara dilanda wabah, ia harus bersedia secara jujur berbagi informasi tentang itu tanpa takut akan bencana ekonomi–sementara negara lain harus dapat memercayai informasi tersebut, dan harus bersedia membantu, alih-alih mengucilkan korban. Saat ini, Tiongkok dapat mengajarkan banyak pelajaran penting tentang penanganan pandemi ke negara lain. Tapi ini menuntut tingkat kepercayaan dan kerja sama internasional yang tinggi.

Mungkin hal terpenting yang harus disadari orang tentang pandemi adalah, bahwa penyebarannya di negara mana pun, membahayakan seluruh spesies manusia. Virus seperti Corona, juga berevolusi. Ketika mereka melompat ke manusia, ia tidak langsung beradaptasi dengan inang manusianya. Saat bereplikasi di dalam manusia, virus sesekali mengalami mutasi. Kebanyakan tidak berbahaya. 

Namun pelahan tapi pasti, mutasi membuat virus kian menular atau lebih tahan terhadap sistem kekebalan manusia—dan jenis virus mutan ini kemudian akan dengan cepat menyebar di tengah populasi manusia. Karena satu orang dapat menampung triliunan partikel virus yang mengalami replikasi terus-menerus. Maka ketika terinfeksi, ia memberi virus triliyunan peluang baru untuk menjadi lebih beradaptasi dengan manusia. 

Kini banyak orang yang mengatakan, satu-satunya cara pencegahan terbaik pandemi adalah dengan men-deglobalisasi dunia. Bangun tembok, batasi perjalanan, kurangi perdagangan. Itu bisa diterima. Karantina jangka pendek pun sangat penting guna menghentikannya. Tapi isolasi jangka panjang akan menyebabkan keruntuhan ekonomi tanpa menawarkan perlindungan nyata terhadap penyakit menular.

Selama medio akhir abad-21, para ilmuwan, dokter, dan perawat di segenap wilayah dunia, mengumpulkan informasi dan bersama-sama berhasil memahami mekanisme di balik pandemi dan cara melawannya. Teori evolusi menjelaskan mengapa dan bagaimana penyakit baru meletus, dan penyakit lama menjadi lebih ganas. Genetika memungkinkan para ilmuwan memata-matai instruksi manual dari patogen yang bersangkutan. Sementara orang Abad Pertengahan tidak pernah menemukan apa yang menyebabkan Kematian Hitam. 

Sebaliknya, ilmuwan mediskita cukup membutuhkan waktu dua pekan untuk mengenali virus Corona terbaru, mengurutkan genomnya, dan mengembangkan tes yang dapat diandalkan untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi.Begitu mereka memahami apa yang menyebabkan pandemi, cara melawannya jadi lebih mudah. Vaksinasi, antibiotik, peningkatan kebersihan, dan infrastruktur medis yang jauh lebih baik, telah memungkinkan umat manusia mengungguli predator yang tak kasat mata. 

Penangkal sesungguhnya dari pandemi bukanlah pemisahan berkepanjangan, melainkan kerja sama kemanusiaan yang beradab. Biar bagaimana pun, manusia merupakan spesies terbaik di jagat raya kita. Saat ini kita hanya butuh mendiamkan diri, dalam sabar. Rumah yang kadung kita jadikan wisma, mulai kembali ke khittahnya. Kita sudah terlampau jauh main di luar. Mari kembali menjadi manusia. Pulanglah ke dalam kesejatian diri. Alam raya menemani.
 
 
Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.