Opini

Bermalam di Rumah Kaligrafi Syaiful Adnan

Sel, 4 Januari 2022 | 07:01 WIB

Bermalam di Rumah Kaligrafi Syaiful Adnan

Rumah ini ideal banget dijadiin showroom kaligrafi gaya Syaifuli. Warna-warna  cokelat, biru, merah, hijau toska atau putih medok kegemaran Mas Syaiful sangat sensasional.

Dalam perjalanan untuk melamarkan keponakan ke Pacitan, saya nginap 3 hari di Pasar Malioboro Yogya. Di Kota Gudeg ini saya sempatkan silaturahmi ke Rumah Kaligrafi Syaiful Adnan (RKS) di kawasan Bantul.


Rumah ini ideal banget dijadiin showroom kaligrafi gaya Syaifuli. Warna-warna  cokelat, biru, merah, hijau toska atau putih medok kegemaran Mas Syaiful sangat sensasional. Seperti menggambarkan kombinasi bentuk dan fungsi antara karya-karya yang dinamis-beringas dengan penampilan pelukisnya yang kalem. Kalem tapi gesit. Seperti kata penyair Al-Mutanabbi:


تبدى سكون الحسن فى حركاتها


Artinya, "Mengekspresikan kalemnya keindahan dalam gerak-geraknya."


Yang lebih membahagiakan, karena persahabatan kami sudah 40 tahun sejak 1981, namun tetap kukuh. Tidak pernah bertengkar. Beda pendapat saja tidak. Padahal, waktu itu, Mas Syaiful datang dengan gerbong "kaligrafi lukis-kontemporer" (خط الرسم الجديدالمعاصر). Sedangkan saya dari jamaah "kaligrafi murni-klasik" (الخط التقليدى القديم).


Di awal 1980an, meletus "perang terbuka" antara dua kubu ini. Para khattat menuduh pelukis merusak kanun kaedah khattiyah. Para pelukis, di dalamnya ada Syaiful Adnan, malah menjawab balik, bahwa "kaligrafi tidak hanya selesai pada huruf". Maka, harus diolah dalam rupa-rupa teknik di aneka media. Anehnya, saya malah gabung ke pelukis, karena yakin mereka tidak sengaja merusak. Mereka hanya "berontak" ingin mencari yang baru.

 


Perjalanan kaligrafi sendiri disarati "pemberontakan" penemuan gaya-gaya baru. Dari semula cuma satu jenis Nabatia mutakhir dengan dua tipe (yaitu tipe مقورومدور/soft writing dan tipe مبسوط ومستقيم/hard writing) di zaman awal Islam, hanya 70 tahun sesudah itu di zaman Bani Abbas berkembang menjadi lebih dari 400 gaya dengan nama seperti yang kita kenal: Naskhi, Sulus, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Riq'ah, Raihani, Shini, Kufi, Andalusi, Usyribah, Lu'lu'i, Silwati, Yaquti, dan lain-lain.


Terinspirasi oleh kehadiran para pelukis kaligrafi yang "mendobrak" ini, saya coba membuat sejarah tahap-tahap perkembangan seni kaligrafi Islam di Indonesia melalui empat gelombang, yaitu angkatan perintis, angkatan orang-orang pesantren, angkatan pelukis pendobrak, dan angkatan kader MTQ.


Di RKS, naaah saya lihat karya-karya pemberontakan "azan rupa" Mas Syaiful. Saya menamakannya “Khat Syaifuli” dan Mas Syaiful setuju dengan julukan itu. Seperti untuk  maestro-maestro lain, saya menamakan Khat Pirousi (A.D. Pirous), Khat Akrami (Sayid Akram), dan Khat Amani (Amang Rahman). Selama ini saya berpendapat "belum ada mazhab kaligrafi khas Indonesia". Yang ada barulah produk atau gaya-gaya individual seperti itu.


Kekayaan Mas Syaiful menonjol dalam keragaman tema pilihannya, seperti tauhid, zuhud, kebenaran dan kebatilan, perjuangan hidup, pesan persatuan dan perdamaian, tali persaudaraan dan ukhuwah Islamiyah, akhlak, sainstek, ketakwaan, zikir, sosial kemasyarakatan, amar-ma’ruf dan nahi-mungkar.


Variasi tema ini seperti usaha kejar-kejaran dengan tema-tema Al-Qur’an yang sesungguhnya banyak, variatif, dan tidak bisa dikejar. Apabila khat Kufi Barat Andalusi lahir dari pemberontakan terhadap Kufi Timur, maka sesungguhnya khat Syaifuli yang seragam satu bentuk tapi tematik itu merupakan hasil pemberontakan terhadap Kufi Barat.


Cirinya: goresan-goresan lengkung menukik melabrak huruf-huruf di bawahnya. Kesan "tanduk Minang yang menyeruduk" memperkukuh eksistensi mazhab Syaifuli made in pelukis kelahiran Minangkabau tersebut.

 


Berdiri berlama-lama di RKS, seakan sedang berdiri menikmati lukisan gaya Syaifuli pada pameran (bersama guru-gurunya, Ahmad Sadali, A.D. Pirous, Amang Rahman, dan Amri Yahya) di Jeddah & Riyadh tahun 1984, pameran bersama (dan satu-satunya mahasiswa) MTQ Nasional XI/1979 di Semarang, pameran bersama MTQ Nasional XII/1981 di Banda Aceh, sampai Pameran Lukisan Islami bersamanya di Gedung Planetarium TIM Jakarta tahun1988.


Di Aceh tidak lepas dari tanggapan seorang warga negara Turki, "Ma hadza? Hadza laysa khath!" (Apa ini? Ini bukan kaligrafi!). Tapi pengamat kaligrafi itu kagum dengan keunikan karya Syaiful Adnan dan kawan-kawan yang belum dilihatnya di negerinya.


Mas Syaiful juga ingin mazhabnya dianut orang lain. Saat pembukaan pameran di Gedung Planetarium, ia mengusulkan sesuatu: "Mas Didin, apakah kaligrafi lukis bisa dilombakan di MTQ?" Tentu saja mustahil dikabulkan untuk saat itu.


Tapi saya yang, lagi-lagi, sependapat dengan Mas Syaiful (karena kami selalu seiring-sependapat), tanpa pikir-pikir langsung mengiyakan, "Bisa." Walaupun, melalui perjuangan panjang, lomba kaligrafi lukis-kontemporer baru diterima masuk ke MTQ Nasional XXV tahun 2014 M di Kota Batam. Duuuh, masa penantian 24 tahun!


Ngobrol sambil tak henti-hentinya berpelukan di RKS, hanya nambah kenangan dengan Mas Syaiful. "Serba sepakat, serba sama." Mungkin juga karena kami sepantaran. Syaiful Adnan lahir di Saniangbaka, Solok, Sumbar 5 Juli 1957. Saya 10 hari sesudahnya di Karangtawang, Kuningan, Jabar.


Kami pun sama-sama bergerak sejak mahasiswa. Bedanya, Mas Syaiful teruuuus tekun melukis dengan gaya khususiyat Syaifuli-nya sampai mendirikan Rumah Kaligrafi Syaiful Adnan pada 24 Mei 2020 dari semula Rumah Makan Andalas sejak 1983. Sedangkan saya memilih jadi guru khat untuk membangun kader-kader kaligrafi dengan mendirikan Lembaga Kaligrafi Alquran Lemka di Jakarta (20/4/1985, dan Mas Syaiful yang membuatkan logonya) dan Pesantren Kaligrafi Alquran Lemka di Sukabumi (9/9/1998). Tapi semuanya ketemu dalam "satu tujuan," yaitu calligraphy development in Indonesia.

 


Kata "Saiful" artinya "pedang". Tapi, mana saya lihat Mas Syaiful bawa-bawa pedang? Yang digenggamnya hanya pena yang dianggap lebih penting dari pedang, sambil menyarungkan pedang di bawah penanya. Boleh jadi benar kata Iskandar "The Great" Zulkarnain:


الأمرتحت شيئين: سيف وقلم. والسيف تحت القلم


Artinya, "Segala persoalan berada di bawah dua benda: pedang dan pena. Pedang di bawah pena."

 


Didin Sirojuddin AR, pengajar pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah