Opini

Godin dan Kenakalan Puasa Orang Sunda

Jum, 31 Mei 2019 | 10:00 WIB

Godin dan Kenakalan Puasa Orang Sunda

ilustrasi: utility-share.blogspot.com

Oleh Abdullah Alawi 

Bahasa Sunda telah menyumbangkan satu kata kepada umat Islam Indonesia yaitu ngabuburit. Kata ini telah menasional, bahkan sering diperbincangkan di acara televisi dan radio, diungkapkan di media sosial. Istilah ini, tentu saja tidak ada di Arab Saudi dan negara-negara lain. 

Namun, ada satu kata lagi yang agak populer di kalangan urang Sunda, khususnya anak-anak mudanya, yaitu kata atau istilah godin. Sebagaimana ngabuburit, istilah ini hanya populer setahun sekali, yaitu saat puasa di bulan Ramadhan. 

Kata ini tidak saya temukan di kamus bahasa Sunda yang disusun R. A. Danadibrata. Kamus tersebut, menurut Ajip Rosidi memiliki entri yang cukup banyak, sekitar 40-50 ribu kata. Kamus tersebut disusun sejak lama oleh penulisnya, tapi upaya penerbitannya sekitar tahun 80-an, gagal dan baru berhasil sekitar tahun 2000-an. Sang penulis datang ke berbagai tempat penutur bahasa Sunda untuk mengumpulkannya. Namun, godin tidak termasuk. 

Mungkin godin dianggap istilah yang muncul belakangan sehingga penyusunnya tidak mengenal kata itu. Namun, sedari saya kecil, akhir tahun 80-an, kata itu sudah populer di Sukabumi. Dan ternyata digunakan pula di Bogor, Bandung, Cianjur, dan lain-lain. 

Di dalam Ensiklopedia Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Termasuk Budaya Cirebon dan Betawi yang disusun Ajip Rosidi dan kawan-kawan juga tidak ditemukan kata itu. Padahal ensiklopedia tersebut diterbitkan tahun 2000-an. 

Ada dua kemungkinan penyebabnya, karena tim penulis tidak menemukan istilah itu. Kedua, karena memang tidak layak masuk sebagai entri. Meski demikian, kata itu tetap saja ada, dan selalu ada peminatnya.   

Karena tidak ada penjelasan di dua buku tersebut, akhirnya saya menggunakan penjelasan manasuka. Saya mengira, kata tersebut berasal dari bahasa Arab yang terjalin dalam lafal niat puasa. Niat yang diajarkan guru ngaji dan orang tua tersebut adalah Nawaitu shauma ghadin an adai fardhi syahri ramadhana hadzihis sanati fardhal lillahi ta’ala…. 

Dalam kalimat tersebut ada, ghadin yang berarti esok hari karena niat tersebut dibacakan sejak akhir tarawih malam harinya. Namun ternyata, makn itua “diselewengkan” secara semena-mena. Di Sunda artinya menjadi berbuka puasa. Dan yang lebih mengherankan, berbuka sebelum waktu maghrib. Ini artinya buka puasa ilegal. Penyelewengan berlapis-lapis. 

Siapa pelaku yang menggunakan istilah dengan menukil dari kalimat bahasa asing secara sembarangan ini? Tentu saja saya tidak tahu wong kamus dan ensiklopedia saja tidak memuatnya. 

Tapi baiklah, saya menggunakan dugaan-dugaan dengan teknik kemungkinan lagi. Mungkin kata itu sebetulnya untuk mendeskripsikan anak kecil yang berbuka puasa sebelum maghrib. Hal itu dilakukan karena di dalam bahasa Sunda tak punya istilah berbuka puasa ilegal. Mungkin awalnya tak sengaja, tapi kemudian jadi kebiasaan dan akhirnya kesepakatan. Sayangnya kesepakatan dimanfaatkan orang-orang dewasa. 

Dulu, ketika saya kecil, orang dewasa yang melakukan godin adalah aib. Mereka akan menjadi perbincangan tetangga dan disindir ajengan pada pengajian kuliah subuh. Karena itulah, biasanya godin dilakukan secara gerilya atau sembunyi-sembunyi. Bisa di hutan, di tepi sungai yang sunyi, di dangau sawah yang terpencil karena kalau di rumah akan dimarahi keluarga.

Namun, sekarang godin kerap dilakukan orang dewasa secara terbuka tanpa rasa malu. Dan dilakukan secara berjamaah. 


Penulis adalah asli pituin Sunda, kelahiran Sukabumi

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua