Opini

Ledakan Bom Kaligrafi di Tengah Pandemi

Rab, 16 September 2020 | 23:00 WIB

Ledakan Bom Kaligrafi di Tengah Pandemi

Kaligrafer yang menjadi peserta Musabaqah Khat Al-Qur'an (MKQ) pada pagelaran MTQ Jabar di Subang, pada awal September 2020.

Kaligrafi tambah ngetren saja. Seperti bom, ledakannya berdentuman ke mana-mana. Setidaknya, itu terdengar dari arena Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara  barusan di tengah persebaran Corona Virus Desease-19 yang belum ngasih tanda-tanda mau berhenti.


Sebelumnya, Papua Barat dan Banten, dan Kepulauan Bangka Belitung jadi pelopor penyelenggara MTQ di tengah pandemi yang mengerikan ini. Akan menyusul beberapa hari lagi Provinsi DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Tenggara.


Puncak ledakannya akan berdentum pada bulan November pada saat MTQ Nasional XXVIII/2020 di Padang, Sumatera Barat. Seperti musik orkestra: nada, gaya, dan kualitas estetiknya seirama dan sama-sama hebatnya.


Dari sayembara hitam putih, khat Naskhi dan Tsulus sederhana di MTQ Nasional XI/1981 di Banda Aceh kini berkembang pesat. Musabaqah Khat Al-Qur'an (MKQ) yang semula disebut Golongan Penulisan Buku kemudian jadi Golongan Naskah ini melombakan kepiawaian mengolah khat-khat Naskhi, Tsulus, Farisi, Diwani, Diwani Jali, Kufi, dan Riq'ah.


Kini peserta tidak hanya menguasai "mazhab huruf" tapi meloncat ke "mazhab guru" yang jadi modal bersaing dalam kompetisi-kompetisi kaligrafi internasional di Turki, Irak, Iran, Pakistan, Yordania, Marokko, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Pelajaran dari MTQ di Dalam Negeri jadi kendaraan untuk merebut prestasi di Luar Negeri.


Golongan hiasan mushaf dan dekorasi semakin berkembang, dapat dilihat pada:


1. Gagasan desainnya yang tambah beragam,


2. Bahasa rupa dengan kekayaan warna dan ornamen yang visioner,


3. Unsur aksara yang sempurna berpadu antara kebenaran kaidah dan keindahan tata susunnya,


4. Aplikasi karya di luar MTQ, seperti pameran, penulisan mushaf daerah, dekorasi masjid, dan gedung-gedung lain, suvenir, dan tentu saja, permintaan pasar dari para pembeli yang mengantre.


Lapak-lapak online kaligrafi bermunculan dan dibuka di mana-mana, menjual lukisan dan buku kaligrafi, peralatan rupa-rupa kalam dan kuas, tinta, cat, ragam kertas, kanvas, dan lain-lain.


Puncaknya, ledakan kaligrafi kontemporer sebagai golongan terbaru. Bukan hanya pelukis, santri dan peserta MKQ tiga golongan pun ikut hanyut dan banyak yang hijrah ke kaligrafi kontemporer.


Selain mengasyikkan karena dapat dilukis dengan kebebasan ekspresi penuh, kaligrafi kontemporer tradisional, simbolik, figural, ekspresionis, dan abstrak juga jadi "gula-gula" karena berhasil mengangkat kaligrafi jadi lapangan usaha yang menggiurkan.


Kaligrafi sebagai rahmatan lil khattatin telah dibuktikan dalam hiruk-pikuk kegiatan terutamanya para kaligrafer MTQ yang "nomadik" (pergi lomba sana-sini biar jadi juara sana-sini); menghasilkan karya seni yang merupakan kombinasi antara bentuk dan fungsi untuk beramal dan meraup pundi-pundi rupiah.


Pandemi corona sama sekali tidak menyurutkan para kaligrafer muda untuk berinovasi, malah melahirkan karya-karya baru yang semakin unik dan cantik dahsyat-dahsyat. Masya Allah, saya senaaang melihatnya.


"Duaaarr!!!" bom kaligrafi teruuus meledak-ledak. Tapi para kaligrafer happyyy menikmati cipratannya.


Didin Sirojuddin AR, Pengasuh Lembaga Kaligrafi (Lemka) Indonesia dan Pengajar pada Fakultas Adab dan Humanioran UIN Jakarta.