Opini

Negara Adidaya Kebudayaan

Kam, 29 April 2021 | 14:30 WIB

Negara Adidaya Kebudayaan

Nahdlatul Ulama selaku kuncen kebudayaan dari sebuah bangsa tua, bisa mengambil peran lebih banyak di garda depan.

Negeri Zamrud Khatulistiwa yang jadi rumah bagi penduduk Muslim terbesar dunia ini, punya riwayat mencengangkan yang tak bisa disaingi bangsa mana pun. China boleh mengaku sebagai negara besar. Tapi mereka telah melewati perjalanan ribuan tahun pertumpahan darah sebelum disatukan Mao Tze Tung pada era modern. Padahal ras  mereka sama: kulit kuning.


Rusia pun demikian. Setelah beratus tahun bertahan sejak era Tsar Agung, yang kemudian dilanjutkan Uni Soviet, negara terbesar dunia ini pun bubrah menjadi Rusia. Begitu pun masih ada beberapa bangsa pegunungan (stan) yang terus berusaha memisahkan diri. Ukraina adalah yang paling kiwari, dan kini sedang berperang dengan induknya.


Eropa setali tiga uang. Satu-satunya negara besar nan rapuh yang berhasil mereka bangun dalam rentang tiga abad ini, ya Amerika Serikat. Tentu dengan merampok tanah ulayat bangsa Indian. Bilamana Amerika terlihat membuka diri pada kehadiran bangsa lain, sejauh ini hanya isapan jempol belaka. Toh mereka yang mengaku negara demokratis itu, masih kerepotan dengan isu rasialisme. Tak jua bisa menenggang orang-orang kulit gelap yang berbondong-bondong datang dari Afrika.


Mari kita tilik Indonesia. Dalam segala hal, termasuk pranata kehidupan, kita mengungguli bangsa mana pun. Di sini berdiam 1.340 suku (BPS 2010) dengan ribuan bahasa-aksaranya, selama puluhan ribu alaf. Zaman yang terus bergonta-ganti, hanya diikuti dengan nama yang juga berubah: Rudra, Lemuria, Sundalandia, Dwipantara, Nuzanthra, Nusaraya, Nusantara, dan kini Indonesia. Namun yang menghidupi semua nama keramat itu tetap sama, bangsa yang pusparagam.


Keragaman itulah spirit bangsa ini. Kita pernah berulangkali mengalami ujian serupa bangsa lain, namun kita selalu berhasil keluar dari lubang jarum kehancuran. Tahun 1965 yang kelam, jadi batu sandungan paling kentara yang gagal mengoyak keharmonisan kita. Kebinekaan ini pula yang membuat kita bisa saling memafhumi satu sama lain. Orang Morotai bisa hidup damai sentosa di sebelah rumah orang Banggai. Orang Mayamaya tak risih bertetangga dengan orang Semenda. Orang Lembak bisa rukun berkeluarga dengan orang Arfak.


Jika Kisanak masih tak mengerti pola ini, amatilah bagaimana Samin dan Betawi bisa terbentuk. Dua subetnik ini muncul belakangan tinimbang namanama suku yang kami sebut sebelumnya. Hal yang unik adalah, kehadiran dua suku terbaru itu membawa juga piranti pendukungnya seperti grha, busana, masakan, senjata, dolanan, mantra, dan kesenian (tari, musik), spiritualitas.


Semua khazanah kebudayaan tersebut, lahir dengan pencerapan-pengendapan tingkat paripurna. Satu dan lainnya saling mewarnai. Saling isi. Beririsan. Bersisian. Tak ada yang tumpang tindih. Apalagi menafikan. Debata na Tolu masyarakat Batak, tak jauh beda dengan Tri Tangtu di Buana khas Sunda. Kita memang belum mendapatkan sumber terbaik tentang bagaimana marwah kebudayaan luhur itu membuncah dan terwaris dalam tradisi bangsa ini, hingga sekarang. Kita hanya tahu satu hal, semua itu hasil dari perasan estetika yang tiada dua.


Seni rupa kita sudah diklaim sebagai yang tertua sejagat. Rekamannya ada di Goa Maros, Sulawesi. Arsitektur pun demikian adanya. Buana Saka Pala (Borobudur) nan ajaib itu saja sudah mencengangkan, ditambah lagi Gunung Padang yang usianya melampaui Piramida Giza di Mesir sana. 


Kisanak juga jangan buru-buru kagum dengan para komposer Barat. Sehebat apa pun notasi yang mereka mainkan, sampai hari ini mereka tak mampu membuat alat musik dari logam seperti gamelan. Harus dipahami, bahwa bangsa kita lah yang lebih dulu membuka pintu zaman logam ke seantero penjuru dunia. 


Mungkin Kisanak juga perlu tahu, bahwa rendang telah dinobatkan sebagai makanan terlezat yang pernah dibuat manusia. Bicara rendang orang Minang, sebenarnya ada yang menarik. Jenis makanan ini tak diketahui siapa pembuat pertamanya. Tak ada yang memiliki hak paten atau ciptanya. Hal sebaliknya, takkan pernah bisa dijalankan warga Barat. 


Mereka baru bisa merasa ada jikalau hasil karyanya diakui orang lain, apalagi berbuah pundi-pundi. Bangsa kita sebaliknya. Semakin tak diketahui siapa pun, kian berbahagia. Sebab kita juga takkan bisa menemukan orang yang menemukan gadogado, karedok, ketoprak, lontong, ketupat, dodol, dan sebagainya.


Apa pasal kita bisa begitu? Tak lain karena kita punya kecenderungan melebur jadi satu kesatuan. Kodrat kita ya begitu. Berbeda untuk menyatu. Bersatu dalam perbedaan. Berdasar itulah kita punya kebiasaan gotong-royong. Bahu membahu. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Warga dunia pun kemudian tahu, bahwa bangsa Indonesia terkenal paling dermawan dan cepat tanggap membantu korban bencana alam.


Risalah ini akan membutuhkan halaman berjilid-jilid jika semua keunikan itu kami tuangkan. Silakan Kisanak jelajahi sendiri Negeri Bahari ini sebelum nanti berkalang tanah. Apa yang hendak kami sampaikan adalah, bangsa Indonesia punya elan vital terkuat dan terbaik yang sudah teruji waktu. Hal itu tercermin dalam mukadimah UUD 1945. Tak ada satu pun negara-bangsa lain, yang dengan gagah berani menyusun pembukaan undang-undang mereka dengan gaya patriotik semacam.


Tak heran bila kemudian Bung Karno dan para pendiri bangsa ini sepakat menghidupkan prinsip politik bebas aktif--yang kemudian mewujud jadi Konferensi Asia-Afrika pada 1955, di Bandung. Indonesia tak pernah mau terseret ke arus Perang Dingin antara Rusia vs Amerika, atau perang dagang Amerika melawan China. Indonesia tetap bersetia dengan takdir yang sudah dijalaninya sejak dulu kala: permata kebudayaan dan peradaban.


Sebagai negara dengan kekuatan Muslim terbesar, Indonesia juga telah membuktikan diri selaku pelestari budaya berbalut agama. Islam yang jumlah populasinya meriah, nampak serbaneka di tujuhbelas ribuan pulau. Menyusul kemudian Hindu pada urutan kedua. Islam Nusantara, jelas berperan besar pada tumbuh kembang peradaban bahari Indonesia terkini.


Sejak 2017 silam, Kementerian Agama Republik Indonesia punya proyek menarik, yaitu menerjemahkan Al-Quran ke dalam pelbagai bahasa daerah. Selama lima tahun terakhir, mereka sudah berhasil menerjemahkan dalam bahasa Kaili, Banyumas, Minang, Sasak, Mongondow, Batak Angkola, Batak, Kanayat, Toraja, Ambon, Bali, Banjar, Palembang, Jawa, dan Sunda.


Ide cemerlang itu turut menyemarakkan laku keberagamaan kita yang telah lama dibalut khazanah kebudayaan. Sebulan Ramadhan di negeri ini, adalah miniatur perayaan kita akan keragaman. Sejak awal berpuasa, hingga akhir, mudah menjumpai kesemarakan yang berlangsung di sembarang tempat. 


Tak salah bila kemudian kita mendaku diri sebagai bangsa festival paling gegap gempita. Tanpa panita penyelenggara. Di desa tempat kami mukim, kaum ibu masih berusaha menyiapkan munggahan kendati kondisi ekonomi keluarganya morat-marit akibat pandemi.


Kala Lebaran tiba, suasana Islam berkebudayaan itu tampil menonjol. Kita yang memang gemar silaturahim dan berbincang santai, akan saling menyambangi sanak kadang dan handai tolan. Secara khusus, Islam hanya menganjurkan kita tuk saling bermaafan. Namun leluhur kita menerjemahkannya dalam laku lampah yang khas Nusantara.


Sampai di sini, kami kira Nahdlatul Ulama selaku kuncen kebudayaan dari sebuah bangsa tua, bisa mengambil peran lebih banyak di garda depan. Bila Amerika, Rusia, China, Uni Eropa berlomba menjadi negara adikuasa dengan jalur ekonomi-politik, mereka takkan pernah bisa melakukannya tanpa spirit kebudayaan manusia. Itulah yang jadi ratna mutu manikam kita selama ini: adidaya secara budaya

 

Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.