Opini

Pemikiran Budaya Maritim Radhar Panca Dahana

Sel, 27 April 2021 | 10:35 WIB

Pemikiran Budaya Maritim Radhar Panca Dahana

Budayawan Radhar Panca Dahana. (Foto: Kompas)

Budayawan Radhar Panca Dahana telah berpulang ke rahmatullah, namun pemikirannya tentang dunia bahari atau maritim seolah masih hidup, setidaknya bagi kami yang pernah belajar padanya tentang karakteristik seni budaya maritim di Pascasarjana STAINU Jakarta pada tahun 2014 silam. 


Berikut ini adalah beberapa karakter budaya maritim yang saya pahami dari Pak Radhar Panca Dahana, budaya ini kemudian mulai berguguran seiring datangnya kolonialisme Barat yang membawa budaya kontinental atau daratan.


Pertama, tidak ada hak cipta. Salah satu karakteristik budaya masyarakat yang ada di daerah maritim adalah tidak ada hak cipta dalam sebuah karya seni budaya, sebaliknya, hak cipta sebenarnya merupakan budaya yang lahir dari masyarakat kontinental. 


Contoh seni budaya tersebut adalah wayang, lenong, syair, puji-pujian dan lagu-lagu yang sering dinyanyikan oleh anak-anak kecil saat bermain. Beberapa karya seni budaya tersebut cenderung tidak diketahui siapa penciptanya sehingga penciptanya sering disebut anonim atau no name (NN).


Budaya anonim ini ternyata membentuk karakter ulama nusantara, misalnya di tanah pasundan banyak beredar kitab-kitab aksara pegon sunda yang tidak diketahui sosok penulisnya. 


Menurut Radhar, royalti bagi masyarakat maritim adalah sebuah kepuasan dan kebanggaan ketika hasil karyanya bisa digunakan oleh orang lain karena dianggap bermanfaat. Selain itu royalti yang diharapkan oleh orang maritim adalah royalti ukhrawi yaitu amal jariyah, sebuah amal yang pahalanya terus menerus mengalir selama karyanya masih digunakan oleh masyarakat.


Kedua, tidak kagetan. Karakter lain yang dimiliki oleh masyarakat maritim adalah tidak kaget dengan hal-hal yang dianggap oleh orang lain aneh dan berbahaya, orang maritim akan menghadapinya dengan santai sebab orang maritim biasa berhadapan dengan berbagai macam gelombang ombak lautan sehingga ketika di tengah-tengah kehidupan masyarakat terjadi sebuah “gelombang” akan dihadapi dengan biasa saja atau dalam bahasa Gus Dur; Gitu Aja Kok Repot.


Ketiga, hibrid dan inklusif. Karakteristik lain yang dimiliki bangsa maritim adalah hibrid alias adanya persilangan nilai serta inklusif atau selalu terbuka dengan berbagai macam budaya baru. Sebagaimana laut yang selalu menerima berbagai macam jenis dan warna air namun hal itu tidak sampai mengubah karakter dan warna air laut itu sendiri. 


Begitu pun bangsa maritim, mereka akan mudah menerima nilai dan budaya baru dari luar tanpa menghilangkan budaya sebelumnya, jika nilai tersebut tidak sesuai, mengacu pada istilah KH Ma'ruf Amin; akan tertolak, bukan ditolak. 


Budaya ini juga mungkin masih ada kaitannya dengan salah satu prinsip NU yang dikenal dengan istilah al-muhafadhotu ‘ala qodimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah yang berarti memelihara nilai atau tradisi lama yang baik dan mengambil nilai atau tradisi baru yang lebih baik.


Keempat, merakyat dan melibatkan banyak orang. Budaya kumpul-kumpul merupakan salah satu dari ciri khas budaya nusantara, tidak heran jika di Indonesia ada gotong royong yang disebut sebagai salah satu budaya luhur nusantara. 


Karakter kebersamaan semacam ini sudah dibangun sejak dini yang bisa dirasakan oleh anak-anak kecil (dulu mungkin kita juga mengalaminya), misalnya dalam aneka permainan anak-anak cenderung melibatkan banyak orang seperti dalam permainan petak umpet, main kelereng, engklek dan sebagainya. Berbeda dengan permainan dari negeri kontinental yang cenderung dilakukan secara sendiri-sendiri.


Kelima, bermuatan mistik. Masyarakat maritim biasanya sangat percaya dengan hal-hal yang berbau mistik dan gaib, misalnya di kalangan masyarakat pesisir ada tradisi pesta laut atau pesta hasil panen dan sebagainya. 


Sebaliknya, masyarakat kontinental cenderung tidak percaya terhadap hal-hal gaib karena dianggap tidak rasional, tidak logis, tahayul dan sebagainya, hal ini terjadi karena bersandar pada pemikiran Auguste Comte tentang teori positivisme yang berpandangan bahwa dalam memahami dunia harus berdasarkan sains.


Lima poin tersebut tentu saja tidak mewakili keseluruhan pemikiran Radhar Panca Dahana tentang budaya maritim, karena masih banyak lagi pemikirannya yang belum kami serap. Namun yang kami rasakan, seorang Radhar Panca Dahana sangat berharap Indonesia bisa menjadi poros maritim dunia sebab sejarah Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya telah berhasil membuktikannya dan juga yang terpenting adalah lautan menjadi bagian paling luas di wilayah Indonesia.


Introspeksi atas Musibah KRI Nanggala 402


Musibah Kapal Selam Nanggala 402 seharusnya bisa menjadi bahan introspeksi pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas alutsista pertahanan negara terlebih di wilayah lautan karena lautan Indonesia yang begitu luas tentu tidak cukup hanya dijaga dengan 5 kapal selam saja apalagi tidak diimbangi dengan kehadiran kapal penyelamat. 


Selain itu, fokus pertahanan negara juga sebaiknya mulai bergeser ke matra laut tidak di darat lagi. Kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap lautan terlihat dari perjalanan panglima TNI yang  lebih banyak dijabat oleh jenderal Angkatan Darat, jenderal Angkatan Laut baru dua orang saja; Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto dan Laksamana TNI Agus Suhartono.


Selain pertahanan laut, pertahan ekonomi juga harus tetap dijaga supaya Indonesia bisa menjadi pemimpin nyata diantara negara-negara yang ada di wilayah samudera pasifik (APEC-Asia Pacific Economic Cooperation), jika sudah demikian, mungkin Indonesia bisa menjadi poros maritim dunia, sebagaimana yang selalu disoroti oleh Radhar Panca Dahana.


Aiz Luthfi, alumnus Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta 2015