Opini

Peradaban Baru yang Menggentarkan

Sen, 21 Juni 2021 | 14:00 WIB

Peradaban Baru yang Menggentarkan

Kini, pranata kehidupan kita memang tampak porak-poranda. Tapi gejala perbaikan secara alamiah, sedang berlangsung. Alam terus merevolusi dirinya, untuk kita dan semua makhluk.

Setiap kali bersua para keponakan kami yang lucu nan lugu, muncul bersitan gelombang yang membawa ke dalam perjalanan waktu. Bagaimana kelak mereka akan menjalani hidupnya? Menurut The World Economic Forum (WEF), 65 persen dari anak-anak yang masuk Taman Kanak-Kanak saat ini, akan bekerja di bidang yang belum ada sekarang. Prediksi dari Institute for the Future, angkanya malah lebih tinggi lagi, sekira 85 persen.

 

Jenis pekerjaan itu mungkin merupakan otomasi atau terkait dengan Kecerdasan Buatan (Artificial Intellegence/AI), kecerdasan yang ditambahkan pada suatu sistem). Pertumbuhannya sangat tinggi. Mencapai angka 190 persen, dengan enam dari 15 pekerjaan terkait AI. Hal ini sesuai dengan perkiraan Mc Kinsey untuk 2030, bahwa 23 pekerjaan manusia akan berhubungan dengan otomasi, dan lebih dari 20 jenis lainnya akan diganti dengan robot (sekarang sudah berlangsung).

 

Apa yang kemudian bisa kita pahami?

 

Masa di depan sana adalah karya imajinasi.

 

Semua pekerjaan itu bahkan belum diketahui saat ini, termasuk pemecahan masalahnya. Niels Bohr, sang pemenang Nobel fisika pun berkata, "masa depan sungguh sulit dipindai, karena sarat ketidakpastian.

 

Penyokong terbesar itu semua adalah transformasi digital, yang bukan lagi sekadar menjadi kenyataan, melainkan segera memunculkan masalah besar jika tidak disikapi dengan baik. Terutama terkait sektor pendidikan—sebagai soko guru yang akan menjalankan pekerjaan pada masa datang karena terus menyuplai tenaga kerja. Inilah buah simalakama yang harus ditelan para pendidik manusia modern.

 

Namun kenyataannya, akselerasi pada sektor pendidikan berbasis tenaga profesional pun gagal mengantisipasi perubahan gangguan dalam bidang teknologi (WEF, 2016), sehingga perlu dibentuk kembali guna menutup jurang yang menganga terlampau besar, antara kebutuhan-permintaan dunia global.

 

Era transformasi teknologi ini bisa merujuk data pekerjaan yang tidak ada sebelumnya pada sepuluh tahun lalu, seperti youtuber/vlogger, animator, gamer, manajer media sosial, pengembang aplikasi, operator drone, pedagang Bitcoin, arsitek komputasi awan, ilmuwan data, pengemudi daring, desainer antarmuka, pengembang perangkat lunak, perancang aplikasi, peretas, pengaman serangan siber, dll.

 

Adapun ragam pekerjaan masa depan yang kelak pupular ialah: konselor genetik, spesialis produktivitas tempat kerja, perencana perjalanan antariksa, astronot, pengendali lalu lintas drone, insinyur kesederhanaan, ilmu saraf, biolog molekuler, penyunting DNA, penyintas ruang-waktu dan augmented reality. Sebuah teknologi pelapis gambar yang dihasilkan komputer pada pandangan pengguna tentang dunia nyata, sehingga memberi tampilan gabungan.

 

Jikapun ada profesi yang sama, pasti akan terjadi perubahan perilaku dan gaya berkomunikasi sehingga tata caranya juga berubah—takkan pernah sama lagi.

 

Apakah kita siap? Harus!

 

Suka atau tidak. Sudi maupun tak. Kita semua terpaksa berada dalam gerbong peradaban yang sama. Lokomotifnya kali ini adalah, teknologi super komputer. Nyaris semua sendi pekerjaan kita hari ini, terkomputerisasi sedemikian rupa. Mereka yang konon masih keukeuh mengikuti "sunnah" Rasulullah Saw dengan gaya hidup salaf, terpaksa menggunakan transaksi perbankan yang padahal mereka haramkan. Aneh, tapi nyata.

 

Kita perlu melatih dan meningkatkan keterampilan, termasuk kemampuan yang menurut futurolog abad 21, Alvin Toffler, tidak dimiliki oleh orang dengan kemampuan belajar saja, tetapi milik mereka yang mampu belajar ulang, dan menidakbelajarkan atau meninggalkan apa yang telah dipelajari dahulu dengan melepaskan diri dari konsep, dogma, dan doktrin.

 

Kita mesti mampu menjalani masa itu. Terutama mengubah paradigma pendidikan bahwa manusia adalah penyelenggara, guna menyiapkan masa depan yang tak pasti itu. Kita takkan mungkin bisa menjalaninya, jika masih menggunakan cara berpikir yang lama, apalagi kolot.

 

Apakah kita harus mendirikan lagi sekolah berdasarkan nostalgia orang tua dari masa lalu, bukan sekolah yang dirancang untuk masa depan anak-anak mereka? Jika kita ingin berpihak pada manusia kiwari pengemban zaman, maka berikan mereka pengalaman menyelami ketidakpastian, dan menyambut risiko baru dalam kehidupannya.

 

Ketidakpastian, merupakan satu-satunya kepastian kita sekarang. Tak ada yang lebih pasti dari keadaan yang kita alami saat ini. Namun dari titik inilah, kita semua beranjak perlahan memasuki fase demi fase. Segala sesuatu harus berubah mengikuti kecenderungan adab manusia—yang selalu tertantang oleh ketidaktahuannya sendiri. Siapa pun yang tak memafhum prinsip dasar ini, pasti menjadi artefak peradaban.

 

Lembaga pendidikan termasuk yang harus berbenah di garda depan. Apa pun namanya. Mau sekolah, pesantren, seminari, dsb. Wahana belajar manusia mendatang sudah semakin mudah dan dekat dengan dirinya. Nanti ada masa kita merangkai dongeng tentang seorang santri yang harus berkelana mencari ilmu dari satu kiai ke kiai lain, karena wahana belajar sudah berpindah ke dalam gawai.

 

Kita perlu merenung lebih dalam, bagaimanakah nasib agama pada masa itu. Sekarang saja, Islam misalnya, sudah terjangkiti gejala ikonoklastik. Pemberhalaan antroposentrisme a la dunia modern. Komodifikasi syariat pun sudah berlangsung sebegitu parah. Episentrum spiritualitas, dimonopoli demi meraup devisa negara. Agama sudah berubah arah menjadi ajang pengendalian umat manusia. Uang dan kekuasaan lah yang utama di atas muka bumi.

 

Kini, pranata kehidupan kita memang tampak porak-poranda. Tapi gejala perbaikan secara alamiah, sedang berlangsung. Alam terus merevolusi dirinya, untuk kita dan semua makhluk. Sejauh ini harus diakui. Manusia lah virus paling mematikan di dataran bumi. Belum pernah ada kekacauan dalam bentuk pemusnahan massal, yang dilakukan hewan atau tumbuhan. Hanya kita yang dengan konyol sanggup melakukan perbuatan nista itu.

 

Saat ini kita perlu menegaskan pada generasi pelanjut, agar mereka tidak berpikir seperti komputer—yang akan mengambil semua pekerjaan prosedural, atau seperti algoritma. Biarlah itu menjadi domain para saintis teknologi digital. Ada sisi yang takkan bisa diambilalih oleh selain manusia: prakarsa, daya cipta, spiritualitas, dan keterampilan sosial—yang di dalamnya terdapat kemampuan berpikir kritis, fasih berbicara, sanggup memecahkan permasalahan rumit, menyelami rasa, dan menggali makna.

 

Dengan cara itulah mereka bisa meretas jalan menuju masa depan yang gilang gemilang, dan tetap menjadi manusia. Berbanding terbalik dengan para bionik yang bilapun menjalin hubungan antarsesamanya, pasti melulu logaritmik belaka. Ikatan kasih-sayang, cinta, yang sudah dijalin leluhur kita sejak awal mula kehadirannya di bumi, terus merekatkan kita semua dalam satu keyakinan bahwa semua manusia adalah sa-udara.

 

Sudut kemiringan inti bumi berikut pergeseran medan magnetnya, dan benua es Antartika yang mulai mencair, juga berpeluang menciptakan jenis tantangan baru. Iklim bumi jelas terdampak. Pun dengan biota purba yang sempat "tertidur" puluhan alaf dalam kebekuan itu--termasuk virus Carnobacterium pleistocenium, Pithovirus sibericum, dan Mollivirus sibericum. Satu di antara bakteri yang berhasil dibangkitkan kembali oleh para ilmuwan patologi pada 2007, bahkan telah berusia delapan juta tahun.

 

Begitulah naluri manusia selaku homo kulturalis. Kita tak pernah jemu merambah ranah paling berbahaya sekali pun, demi memuaskan dahaga keingintahuan. Kita bahkan tak segan melakukan pengorbanan diri untuk sebuah perjuangan nilai. Ada begitu banyak manusia yang sudah melakukan ini secara sadar: pergi selamanya sebagai persona, lalu kembali menjadi yang lain di atas panggung raya kehidupan.

 

Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.