Opini

Perang Shiffin dan Akhir Perseteruan Jokowi-Prabowo

Jum, 19 Juli 2019 | 19:15 WIB

Perang Shiffin dan Akhir Perseteruan Jokowi-Prabowo

Lukisan karya Kunara 'Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo' (Foto. Fernando Fitusia)

Oleh Ahmad Romli

Di dekat hulu Sungai Furat yang kini terletak di Suriah, dua sahabat mulia Nabi, Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan saling berhadapan. Keduanya terlibat perang besar yang konon bermula dari perselisihan perebutan tampuk kekuasaan. 

Peristiwa berdarah yang tercatat menewaskan sekitar 60 ribu orang itu dikenal dengan sebutan Perang Shiffin (waq’ah Shiffin). Perang selama 3 hari itu terjadi pada tahun 37 Hijriah atau bertepatan 657 tahun Masehi.  Perang Shiffin adalah noktah hitam dalam sejarah umat Islam. Semua menyayangkan perang saudara itu terjadi. Apalagi di antara sahabat Nabi masih banyak yang masih hidup.

Dalam literatur sejarah, Perang Shiffin ini berawal dari pengangkatan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah ke-4 menggantikan Khalifah Utsman bin Affan yang wafat terbunuh. Muawiyah menolak membaiat Ali bin Abi Thalib sebelum keadilan atas pembunuh Utsman bin Affan ditegakkan. Ia mengetahui bahwa ada penumpang gelap dalam kubu Sayyidina Ali yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. 

Untuk menghindari terjadinya bentrok fisik antar kedua kubu, Ali bin Abi Thalib mengutus Abu Muslim al-Khaulani untuk melakukan negosiasi. Upaya pertama tidak berhasil. Dalam riwayat lain, Ali bin Abi Thalib kemudian mengutus Abu ad-Darda’ dan Abu Umamah. Keduanya pun mengalami jalan buntu. Perang tak bisa dicegah.   

Di tengah ganasnya ladang peperang, berbagai upaya menghentikan terus dilakukan oleh kedua belah pihak. Puncaknya, kubu Muawiyah bin Abi Sufyan mengikatkan Al-Qur’an di ujung tombak sebagai isyarat penyelesaian konflik yang kemudian dikenal dengan istilah tahkim. Tahkim adalah perjanjian damai antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan yang dibuat berdasarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun juru runding dari Sayyidina Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari, sedangkan dari pihak Sayyidina Muawiyah bin Abi Sufyan diwakili oleh Amr bin Ash.

Upaya damai itu disambut positif oleh kedua belah kubu. Sebab sejak dari awal keduanya memang tidak bermaksud menyerang satu sama lain. Riwayat lain juga menyatakan  bahwa kedua kubu sebenarnya tidak berselisih mengenai jabatan kekhalifahan.

Meski demikian, ada sekelompok orang yang menghendaki untuk melanjutkan perang dan menolak tahkim. Sekelompok orang yang menolak itu kemudian merencanakan pembunuhan terhadap Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, menantu Nabi itu terbunuh di tangan Abdurrahman bin Muljam. Di dalam sejarah, kelompok ini dikenal sebagai Khawarij. Siapa sejatinya khawarij? Dalam Syarh al-Kawakib al-Lama’ah, Syeikh Abul Fadl bin Abdusy Syakur Senori mengatakan bahwa mereka adalah setiap orang yang menolak atau menentang pemimpin yang sah yang telah disepakati baik di era sahabat, tabi’in, dan pemimpin-pemimpin di sepanjang zaman.  

Akhir pekan lalu, dua tokoh sentral yang menjadi rival dalam Pemilihan Presiden RI 2019 bertemu. Perjumpaan di depan publik antara Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto menjadi peristiwa penting di jagat politik nasional yang sudah dinanti banyak orang.

Pertemuan yang berlangsung Sabtu, 13 Juli itu adalah sinyal kuat tentang perdamaian, sekaligus menghapus narasi-narasi panas penuh rivalitas yang pernah digeser hingga medan perang badar. 

Keduanya —sekalipun tidak mengutip peristiwa berdarah dalam Perang Shiffin, menyadari bahwa permusuhan bukanlah jalan pilihan. Perseteruan kontraproduktif yang berlangsung cukup lama harus disudahi. 

Perselisihan, gontok-gontokan   diantara Jokowi dan Prabowo mencapai titik paripurna. Keduanya telah sepakat berdamai. Menyeru kepada pendukungnya untuk bersatu setelah sebelumnya terpolarisasi akibat perbedaan pilihan politik. 


"Tidak ada lagi 01, tidak ada lagi 02," 

Penyebutan "cebong" dan "kampret" yang selama ini dilontarkan masing-masing pendukung juga layak dihentikan.

"Tidak ada lagi namanya cebong, tak ada lagi namanya kampret," itu kata 01.

02 pun sepakat. "Sudahlah, enggak ada lagi cebong-cebong. Enggak ada lagi kampret-kampret".
 
Rekonsiliasi dua tokoh nasional ini tampaknya menemukan relevansinya dengan ceramah Kiai Cholil Bisri saat menghadiri haul Kiai Muhammad Munawwir di Krapyak tahun 1999. “Kita tidak boleh disengat kalajengking untuk kedua kalinya,”  Kewaspadaan itu diungkapkan setelah bangsa Indonesia berhasil menghindari perang saudara akibat krisis politik.


Penulis adalah Pengajar di SMA Islam Raudlatul Falah Gembong Pati

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua