Opini

Sisa Kenangan Ramadhan: Melacak Buku Paling Lecek

Ahad, 23 Juni 2019 | 10:00 WIB

Oleh Didin Sirojuddin AR

Selama 30 hari Ramadhan, saya gunakan juga untuk membaca-baca buku akhlak-tasawuf. Ini tema favorit. Makanya, saya senang membacanya. Tapi, lagi-lagi pilihan jatuh ke terjemahan Kitab Tanbihul Ghafilin (Peringatan Orang-orang Lalai) karangan Abul Laits As-Samarqandi yang tebalnya 661 halaman. Buku ini sudah kelewat lecek. Betul-betul lecek. Laiknya jadi bahan penelitian para ahli filologi.

Maklum, sejak dibeli Rp 7000 pada 18 Maret 1992, buku ini sudah lebih 1000 kali dibaca. Padahal buku-buku populer lain dibaca paling satu dua kali. Seperti record ya. Tapi, sebetulnya, masih kalah sama  Al-Qur‘an yang dibaca saban Maghrib dan Shubuh.

Isi Kitab Tanbihul Ghafilin benar-benar menggugah dan menggoda, dan hanya tersaingi kitab-kitab seperti Durratun Nashihin (Butiran Nasihat), 'Izhatun Nasyi'in (Nasihat Kaula Muda), Nasha'ihul 'Ibad (Nasihat Para Hamba), Tanbihul Maghrurin (Peringatan Orang-orang Tertipu), Nasha'ihul Khattatin (Nasihat Para Kaligrafer), Jamharatul Auliya (Himpunan Para Wali), Al-Hikam (Hikmah Kebijaksanaan),  Syarhul Hikam (Uraian Hikmah), Al-Akhlaq Al-Islamiyah (Akhlak Islam), Al-'Ushfuriyah (Nasihat Burung), dan Iqazhul Himam (Membangunkan Cita-cita).

Sambil dibaca buku itu dicoret-coreti. Atau dibuatkan coretan summary-nya. Biasa, untuk bekal ceramah di majelis taklim atau pointers khutbah Jumat. Pernah juga coba dibuatkan 11 artikel saripatinya, Sembilan darinya dimuat di harian umum Republika.

Baca-baca buku ini di waktu senggang memang asyik, melebihi postingan di medsos yang sekali baca biasanya langsung bosan. Senikmat seperti yang dikatakan "bapak buku" Al-Jahizh:

نعمَ البديـــلُ الكتابُ

Artinya, "Pengganti paling nikmat adalah buku."

Buku jadi teman. Bahkan, teman paling setia:

خيرُجليسٍ فى الزمانِ كتابٌ

Artinya, "Sebaik-baik teman nongkrong di segala kesempatan adalah buku." 

Maka, jadilah Ramadhan waktu untuk thalabul ilmi. Ini yang kerap terlewatkan oleh sebagian besar  shaimin (orang yang berpuasa). Seolah Ramadhan hanya untuk diisi ibadah mahdhah. Padahal lebih dari itu.

Nongkrong sambil buka-buka buku, apalagi kalau ramai-ramai, mengingatkan kita ke zaman keemasan Islam dulu ketika "perpustakaan jadi keajaiban dunia" yang melahirkan seabrek intelektual yang belum ada di luar Dunia Islam.

Tepatnya, karena efek domino membaca buku dan semangat thalabul ilmi, maka umat Islam maju dan memimpin dunia. Ketika Eropa masih "barbar" dan Amerika belum ditemukan.

Katanya, sekarang jadi terbalik. Dari setiap 1 juta orang Amerika, intelektualnya 4000 orang. Jepang malah 5000 orang. Tapi di Dunia Islam, dari 1 juta muslim intelektualnya hanya 300an orang. Ketinggalan, karena kurang baca buku dan kalah maju di bidang pendidikan.

Membaca Kitab Tanbihul Ghafilin saat berlapar-lapar puasa terasa seperti ditampar, mengingatkan kalau selama ini kita sering lalai dan menganggap enteng ibadah, tobat, amar ma'ruf nahi munkar, sampai (seakan) lupa mati dan konsekuensi-konsekuensinya di alam barzakh dan akhirat. Seolah "kurang rindu" ke surga dan "kurang takut" masuk neraka.

Yang sering, kelalaian itu berupa sikap cuek terhadap amal-amal utama seperti sabar, sedekah, menyayangi anak yatim dan fuqara wal masakin dan dhuafa, mau memaafkan, merajut silaturahmi, sopan-santun bertetangga, memenuhi hak anak, zikir-tafakkur-syukur dan rajin baca Al-Qur’an dan shalawat, bersikap wara' dan tawakal,  semangat menimba ilmu, memelihara sifat malu, memupuk roh jihad (bukan dalam arti kekerasan macam sekarang), sampai sikap toleran atau lapang dada, menyebarkan salam perdamaian, dan menciptakan lapangan kerja bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain.

Sikap lalai yang paling gawat dan sudah masuk "studium empat" adalah perilaku buruk yang teruuus saja dilakukan padahal kita tahu hukum dan hukumannya. Misalnya: dusta (termasuk hoaks menurut istilah sekarang), ghibah (mengungkap keburukan orang), namimah (adu domba), hasud (dengki dan iri hati), takabur atau sombong, mengumbar emosi atau marah, mengumbar syahwat, rakus dan over mengkhayal, ihtikar (menggaruk untung dengan menimbun), sampai-sampai tidak lagi merasakan "haramnya barang haram" karena otaknya kurang lurus dan hatinya tidak lagi suci.

Fisik Kitab Tanbihul Ghafilin ini  sudah lecek. Tetapi isinya nggak ikut-ikutan lecek. Malah masih relevan dan bisa diamalkan untuk selalu mengingatkan kita sepanjang zaman.


Penulis adalah dosen pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pengasuh pesantren kaligrafi di Sukabumi, Jawa Barat.

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua