Opini

Tafsir Gender Buya Husein: Menyengat Nalar, Menebar Maslahah

Sel, 26 Maret 2019 | 16:30 WIB

Tafsir Gender Buya Husein: Menyengat Nalar, Menebar Maslahah

KH Husein Muhammad saat penganugerahan HC dari UIN Walisongo Semarang, Selasa (26/3)

Oleh: Dede Wahyudin
Hari ini, Selasa 26 Maret 2019, penganugerahan Doktor Honoris Causa, DR (HC) Husein Muhammad Asyrafuddin dari UIN Walisongo Semarang telah resmi disematkan kepada kiai nyentrik dari Cirebon sekaligus sebagai Ketua Yayasan Fahmina. “Buya” atau “Kang” Husein, begitu sapaan akrabnya, kini menjadi ikon gender di Indonesia. Tentu, proses pengakuan pemikiran Buya ini tidak mulus, banyak liku dan penuh warna.     

Setelah Buya Husein disahkan sebagai Doktor Terhormat, kini banyak kalangan yang menngaku sebagai santri Buya Husein, mahasiswa Buya Husein, teman Buya Husein, sahabat dan lain-lain hanya sekadar untuk memberi ucapan selamat kepadanya. Berbagai narasi, meme dan quotes Buya Husein membanjiri media sosial sebagai simbol 'persaksian' dan 'persetujuan' terhadap ide-ide kemanusiaan yang diusung Buya Husein melalui turats. 

Terlepas dari itu, sebagai pemikir, sudah pasti ada banyak tanggapan dan respon terhadap Buya Husein, ada yang menguji dan ada pula yang mengkajinya. Baik dari sisi sosoknya ataupun perspektifnya. Dari rekam jejak Buya Husein yang penulis alami sendiri, ada yang bilang pemikiranya tergolong pemikiran feminis karena membolehkan perempuan bekerja, ada yang mengatakan pemikirannya itu liberal karena membolehkan aborsi, bahkan tidak sedikit yang mencemooh pemikirannya terlalu ke-Barat-an. Tidak, sekali kali tidak. Buya Husein hanya ingin menunjukkan kekayaan turats Islamiy di mata dunia. Bahwa Islam memiliki andil dalam memberi solusi atas seluruh persoalan kemanusiaan yang ada di setiap zaman. 

Terbukti, di gelanggang akademisi, Buya Husein aktif sebagai dosen ISIF, dosen Pascasarjana di IAIN Syekh Nurjati, Anggota Komnas HAM, pembicara di level nasional, dan termasuk tokoh dan pemikir dunia. Sengatan dari logika 'gender'-nya mengguncang nalar waras publik. Ada yang terang-terangan menolak, ada pula yang berbisik lirih kepada penulis hanya untuk memastikan kebenaran sangkaannya lebih dalam soal perspektif yang kontroversialnya. Bahkan ada pula yang 'menjerumuskan diri' ke muara gender Buya Husein dengan turut serta terlibat dalam program 'Belajar Bersama' ataupun 'mondok' di kawasan Jl Swasembada No 15 Majasem Karyamulya Kota Cirebon, Jawa Barat. Di sanalah Buya Husein menggelar pengajian Kemisan untuk umum ala lesehan, dengan metode Buya Husein yang khas, yakni dialogis, partisipatoris dan realistis. 

Sependek pengetahuan penulis, embrio kegelisahan Buya Husein ini muncul saat realitas ketimpangan keadilan bagi perempuan yang bekerja di luar negeri. Berbagai kasus dan persoalan yang mendera para pahlawan devisa negara. Buya Husein bersama tokoh Cirebon lain, kemudian mendirikan yayasan Fahmina. Tidak lama, kemudian lahirlah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) pada tahun 2008 berdasarkan atas permintaan berbagai kalangan yang sengaja untuk merawat nalar kritis. Sebagai dua kekuatan, LSM dan Akademik. Sejak itulah gaung gender Buya mulai merasuk ke dalam isu global.

Sampai pada tahun Buya Husein mendapat penganugerahan sebagai tokoh Heroes to End Modern-Day Slavery tahun 2006 dari Pemerintah Amerika Serikat dan dari negara yang sama pada tahun 2013 secara kelembagaan Fahmina Institute mendapat Awards Opus Prize, dimana saat itu Buya Husein memberikan orasi ilmiahnya. Selain itu, The Royal Islamic Strategic Studies Center menetapkan Buya Husein sebagai salah satu The 500 Most Influential Muslims empat tahun berturut-turut, 2010-2013. Meskipun yang penulis saksikan sendiri, banyak penghargaan dari negara lain yang disematkan kepada Buya Husein sebagai 'peracik turats' yang piawai.

Bagi para intelektual yang biasa bercengkrama dengan pemikiran Buya Husein, tentu hari ini tak kuasa untuk membendung air mata. Air mata kebahagiaan, karena menyaksikan di depan mata kita bahwa kekuatan ide dan gagasan yang jujur akan berbuah dan bemanfaat bagi kehidupan. 

Sampai di sini, penulis dan kita semua menjadi tahu dan paham betul bagaimana kegigian dan perjuangan Buya Husein dalam mempertahankan, menawarkan dan membuktikan permikirannya mengenai tafsir gender di kancah dunia. Kini, mata kita semua menjadi terbelalak oleh pemikiran Buya Husein tentang cara pandangnya mengenai realitas yang timpang itu ternyata dapat dibedar melalui pemikiran yang serius, istiqomah dan progesif sebagaimana yang telah dicontohkan Buya Husein terhadap tafsir gender yang berkeadilan dan maslahat dalam bingkai kemanusiaan. 

Penulis sendiri sebagai kader Buya Husein, menyaksikan kegelisahannya, keuletannya dan kesabarannya dalam menjernihkan nalar siapapun yang bersentuhan dengannya. Dari hasil bimbingan Buya Husein kepada penulis, dalam lisan maupun tulisan, penulis menjadi sadar bahwa dunia teks yang kita kaji harus dapat merespon atau bertanggungjawab atas realitas yang penuh persoalan kemanusiaan, apa pun dan di mana pun.

Penulis adalah Dosen Tetap ISIF Cirebon dan Mahasiswa Program 5000 Doktor Kemenag RI Prodi Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 
 

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua