Fragmen

Merindukan Kader Hibrida di NU (1)

NU Online  ·  Rabu, 10 Maret 2004 | 09:24 WIB

 

Banyak macam kader  dapat ditemukan di NU. Kalau dulu  mencari intelektual di lingkungan NU  susahnya seperti  mencari tukang es di malam hari, maka saat ini   stok pakar  berbagai macam disiplin ilmu mulai tersedia. Hanya saja distribusi peran para intelektual (peneliti, dosen, wartawan), aktivis LSM dan politisi,  yang  belum dapat dikerjakan secara bersahaja. Simpan siur peran kader masih menjadi pemandangan di banyak tempat. Prinsip  the right man on the right job seolah  hanya menjadi  kata mutiara  di luar NU. Fakta sikut-sikutan  antara  kiai dan politisi, bahkan ancaman  pembunuhan terhadap Wakil Katib PBNU KH Masdar Farid Mas’udi di Mesir beberapa waktu lalu  membuktikan bahwa  belum terjadi perkawinan simbiotik di lingkungan kader NU.  Ibarat orang koprol belakang,  kedua kaki   belum jatuh ke tanah secara sempurna.

<>

Sebenarnya, harapan  terhadap NU sebagai penelor kader berintegritas tinggi sudah lama dibicarakan. Apalagi, perhelatan akbar The Internastional Conference of Islamic Scholars (ICIS) yang digelar oleh PBNU bekerjasama dengan Deplu RI pekan lalu, menyisakan harapan tersembunyi  dunia internasional terhadap NU. Antropolog Jepang Mitsuo Nakamura menyebut peran kaum nahdliyin  di panggung internasional sebagai eksperimentasi awal generasi intelektual NU, sementara Islamolog Belanda Martin van Bruinessen  yakin NU tidak lama lagi mewarnai pemikiran Islam dunia setelah mendominasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, Guru Besar Daekin University Australia  Gregory Barton menandai kemunculan generasi muda NU ini sebagai perpaduan antara moderintas  yang liberal dan tradisionalitas yang konservatif. Dapatkah harapan itu diwujudkan?

Meretas Pemikir NU
Seperti disebutkan  dalam banyak catatan perjalanan NU, bidang pemikiran telah lebih dahulu berkembang pesat sebelum generasi muda NU menggeluti dunia LSM dan politik. Oleh karena itu,  kemunculan generasi pemikir jauh lebih banyak dan matang  dibanding kelompok LSM dan aktivis  yang kemudian masuk “Senayan”. Wacana publik dalam di Indonesia setidaknya mulai bergeser ke tangan anak muda NU. Demikian juga dunia LSM, meski  di panggung politik kader NU menjadi  mainan politisi  lain.

Serangkaian diskusi (halaqah) kritis  diadakan oleh P3M di bawah pimpinan Masdar F. Mas'udi yang bekerja sama dengan Rabithah Ma'ahid Islamiyah  (RMI: organisasi pesantren NU)  mengambil tema-tema yang mencengangkan, seperti teologi tanah, fiqh kerakyatan, kontekstualisasi kitab kuning, redefinisi wacana fiqh, agama dan keadilan, atau kesetaraan gender.  Dari P3M juga  lahir kelompok kajian Islam Partisipatoris yang agresif dan prograsif mendekatkan Islam dengan masyarakat. ( Laporan lengkap mengenai kegiatan-kegiatan P3M-RMI ini dapat ditemukan pada Bruinessen, hlm. 220-226. Mas'udi (ed), Teologi Tanah, Jakarta, P3M dan Yapika, 1994, Mas'udi (ed), Agama dan Hak Rakyat, Jakarta, P3M, 1993, dan Mas'udi (ed), Fiqh Permusyawaratan/ Perwakilan  Rakyat, tt., P3M-RMI-Pesantren Cipasung,tt)

Perkembangan pemikiran di NU tidak lepas dari Munas di Lampung tahun 1992 yang menjadi “titik pental” (spring board)  utama dan merupakan bukti nyata bahwa tradisi baru keilmuan telah menjamur dalam tubuh NU. Munas tersebut menghasilkan keputusan yang melegitimasi konsep Aswaja sebagai  metodologi berpikir, taqlid manhaji. Beberapa bulan setelah Muktamar Krapyak, P3M menyelenggarakan halaqah mengenai metode penetapan hukum -istinbath al-ahkam. Setelah itu berbagai kajian digelar secara serentak di kantong-kantong NU.

Pada level organisasi perkembangan keilmuan agama di basis NU seperti pesantren,  berjalan perlahan di bawah kontrol ketat para kyai, namun pada garis lain banyak pemuda NU yang justru semakin dekat dengan  gagasan-gagasan 'kiri' semisal  pikiran Ivan Illich, Michael  Foucoult,  J.F. Lyotard, Nietscze, an-Naim, Sayyed  Hosen Nasr, Muhammad  Arkoun, Hassan Hanafi, Abid  Aljabiri dan lain-lain. Kalangan ini diwakili  oleh para mahasiswa, baik di IAIN maupun universitas-universitas umum yang tergabung dalam Pergerakan Mahsiswa Islam Indonesia (PMII)  ataupun dalam himpunan mahasiswa Islam (HMI). Banyak juga dari mahasiswa NU dari al-Azar Mesir dan Iraq. Perpaduan ilmu agama dan analisis sosial generasi pesantren plus ini sebenarnya sudah melahirkan banyak kelebihan. Namun seperti biasa terjadi di lingkungan NU, potensi itu  tidak sepenuhnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Potensi besar mereka tercecer di mana-mana. Baru beberapa tahun terakhir, ada beberapa penyaluran peran dan eksistensi diri. Dalam kaitan ini, Lembaga Kajian islam dan Sosial (LKiS) berhak untuk diajukan sebagai pelopor. Lembaga swadaya yang didirikan pemuda-pemuda NU di Yogyakarta ini memiliki  peran yang penting dengan menerbitkan buku-buku bermutu tentang NU, kajian sosial keagamaan  dan   menterjemahkan karya para pemikir radikal dunia seperti di atas.( Sebuah pen