Label NU sebagai Islam kiri sebenarnya bukan hal baru sebagaimana diperkenalkan Hassan Hanafi yang kemudian banyak dikembangkan kalangan muda NU era 1990-an. Buktinya NU telah mengukuhkan label itu sejak tahun 1950, bahkan sejak berdirinya. NU berdiri untuk
membela rakyat kecil tertindas baik oleh kolonialisme Belanda, maupun dari imperialisme Barat pada umumnya yang menghisap. Pesantren NU terutama yang berdiri sekitar abad ke- 18 hingga ke-19 sedikit banyak dimotivisir oleh semangat itu. Karena itu dengan gigih
<>NU menolak segala bentuk persekongkolan dengan kaum kolonial dan imperialis sebagaimana dilakukan oleh para pemberontak PRRI-Permesta, maka dengan tegas NU mengutuk pemberontakan tersebut, meskipun dikemas dengan lebel demokrasi atau desentralisasi.
Tidak hanya itu pada tahun 1950-1960-an ada bentuk lain orang NU terutama para elitenya mengekspresikan diri sebagai sebagai kelompok kiri (pedulu umat/rakyat) dengan memiringkan picinya ke arah kiri. Sehingga mudah dikenali kalau orang picinya condong ke kiri berarti orang NU. Sebaliknya kalau ketemu orang yang picinya miring ke kanan berarti orang Masyumi sebagai kelompok kanan.
Identitas kekirian NU semakin nampak ketika kelompok Islam kanan beraliansi dengan imperialis (Amerika-Inggris) membentuk PRRI. Maka NU bersama PNI dan PKI membuat Front Politik Bersama anti imperialisme dalam wadah Nasakom (Nasional Agama Komunis). Di sinilah orang sering keliru menyebut NU sebagai oportunis, sebab Nasakom yang dipanglimai Bung karno tidak lain adalah Front perjuangan rakyat melawan penjajahan. Ini bentuk aliansi politik bukan agama dan agendanya jelas yaitu mengusir penjajah yang masih bercokol di berbagai perusahaan, yang mengkploitasi alam dan tenaga kerja Indonesia.
Karena itu para kiai sepuh seperti Kiai Muchid Muzadi mendefinisikan kiri sebagai pada komitmen pada perjuangan rakyat, tidak ada kaitannya dengan kelompok sosialis, apalagi komunis dan sebagainya. Kebanyakan mereka itu masih kiri kekanak-kanakan atau kelompok Islam kanan yang berislam kekanak-kanakan pula, sementara NU lebih mementingkan penghayatan dan pendalaman.
Maka dari situlah komitmen itu muncul dan menjadi spirit gerakan. Tokoh NU yang dikenal paling miring ke kiri songkok adalah KH Zainal Arifin. Entah karena kekiriannya (komitmen kerakyatan dan kebangsaannya) itu ia pernah menjadi sasaran pengeboman oleh sisa-sisa PRRI-Permesta tahun 1963, saat shalat Idul Adha bersama Soekarno di Istana negara. (MDZ).
Dirangkum dari berbagai cerita sejarah.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
4
Khutbah Jumat: Menyambut Idul Adha dengan Iman dan Syukur
5
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
6
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
Terkini
Lihat Semua