Fragmen

Ular dan Orang Minang di Palembang

NU Online  ·  Selasa, 10 Mei 2005 | 09:26 WIB

Walaupun transportasi antar pulau di Nusantara saat itu masih sangat tergantung pada kapal laut, namun kegigihan para pengurus PBNU untuk turba (turun ke bawah) ke berbagai daerah dalam upaya mengembangkan NU di sana tetap gigih. Perjalanan juah dan melelahkan ditempuh dengan semangat dan dihayati penuh keikhlasan, karena semuanya diniati sebagai ibadah. Salah satu daerah yang sering dikunjungi pimpinan PBNU adalah Palembang Sumatera Selatan.

Tahun 1934 NU sudah berdiri di daerah ini, kemudian pada tahun 1940 para pengurus PBNU sudah mulai aktif membangun NU daerah ini, antara lain yang pernah ke sana adalah Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Mahfudz Shiddiq, Kiai Wahid Hasyim, belum lagi tokoh muda seperti Djamaluddin Malik, Zaenal Arifin termasuk Idham Cholid. Dengan demikian perkembangan NU di daerah itu sangat pesat dan solid, sehingga pada tahun 1952 sudah siap menyelenggarakana Muktamar NU, sebuah puncak prestasi saat itu sudah bisa menyelenggarakan hajat nasional.

<>

Untuk mencapai keberhasilan memang perlu penanganaan yang serius dan gigih, agar ajaran organisasi ahlussunnah itu bisa dilaksanakan. Pada suatu ketika sebelum NU menyelenggarakan Muktamar Djamaluddin datang kembali ke Palembang untuk melakukan konsolidasi organisasi. Kepada para pengurus Cabang dan anak cabang NU ditanyakan, apa hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam mengembanagkan NU di daerah masing-masing.

Beberapa orang dari cabang melaporkan bahwa hambatan utama adalah juhnya lokasi antar ranting dan anak cabang, seta cabang, sementara kondisi Sumatera Selatan banyak rawa dan hutan, sehingga pertemuan hanya diadakan musim terang dan siang hari saja, sementara pada siang hari mereka sibuk kerja. Sementara kalau pertemuan diselenggarakan malam, sulit melalui hutan dan rawa, di sana banyak ular dan buaya, akibatnya pertemuan hanaya dihadiri sedikit pengurus.

Sementara beberapa orang yang berasal dari cabang kota yang lain melaporkan bahwa kesulitan yang dihadapi adalah adanya terror yang terus menerus dari kelompok Islam modernis- Wahabi yang menghambat semua kegiatan NU yang dianggap bid'ah, sirik dan churafat, demikian pula mesjid yang digunakan mengajarkan paham ahlussunnah banyak dirampas mereka.
“Mereka itu Wahabi Palembang atau Wahabi rantau dari Minang” tanya Djamal dengan serius”.

“Dari Palembang juga pak, tetapi yang paling garang memang saudara-saudara Pak Djamal dari  Minang itu” mereka menjelaskan.
“Mereka itu merasa paling beragama, padahal mana ada agama yang kerjanya mencaci maki, meneror kelompok lain. Maka kita harus yakin bahwa cara beragama kita yang benar, karena mengajarkan persaudaraan, menghargai kebudayaan dan kemanusiaan. Yakinlah sudara-saudara Wahabi tidak akan berkembang besar, kitalah yang akan menjadi besar, agama dan partai besar, karena kita beragama sesuai dengan karakter bangsa Indonesia”. Djamal memotivasi mereka. Dengan penjelasan itu motivasi perjuangan mereka semakin militan.
“Omong-omong, kalau saudara-saudara berjalan, kemudian ketemu ular dan orang Minang, mana yang saudara usir lebih dulu”. Tanya Djamal tiba-tiba.

“Ya ular yang harus diusir, bahkan harus dibunuh” kata seorang pengurus Cabang NU dengan lugu “ sebab bagaimanapun orang Minang walaupun Wahabi, tetapi saudara kita juga.” Mereka melanjutkan.
“Sampeyan keliru, yang harus diusir duluan orang Minang, sebab mereka itu lebih berbahaya dari ular berbisa” Jelas Djamal.
“Apa benar Pak Djamal ?”Tanya mereka ragu-ragu.
“Lha masak sampeyan tidak percaya, saya ini orang Minang asli ! jadi tahu persis karekter mereka”
“Ooo begitu yaa..” gumam mereka penasaran.
“Kalau sampeyan tidak percaya” kata Djamaluddin Malik, saya pernah mengalami, suatu ketika saya membangun usaha peternakan kuda di Padang, membeli puluhan hektar tanah, lalu saya datangkan kuda balap terbaik, dari Australis, Inggris  dan Arabia. Tetapi setelah setahun saya lihat, kudanya tak bertambah atau semakin gemuk, tapi  semakin kurus. Sebaliknya penjaganya saya lihat menjadi  gemuk-gemuk, sebab semua ransom kuda yang mahal-mahal itu tidak diberikan kuda, malainkan dimakan sendiri oleh penjaganya, sementara kuda hanya dikasih rumput biasa, ya merana jadinya”
 “Habis makanan kudanya lebih baik dari makan manusianya” komentar mereka sambil tertawa .
“Tentu saja wong ini kuda balap, biar bisa lari, buka kuda pedati” Jawab Djamal.
“Tetapi saya kira Pak Djamal tidak jatuh miskin “ seru mereka
“Insyaallah tidak , sebab Allah masih melimpahnya rizkinya”
“Kalau begitu sumbangan untuk cabang-cabang masih tersedia ya Pak”
“ Ya.. tentu saja ada.
Begitulah para pengurus PBNU telaten dan sekaligus akrab dengan para jamaah di daerah, dan sekaligus dermawan sehingga bisa memotivasi mereka untuk mengembangkan NU di daerahnya. (Munim DZ)***