Hikmah

Tanda Hati Sehat, Hati Sakit, dan Hati Mati

Sel, 16 Oktober 2018 | 08:00 WIB

Detak jarum jam terdengar sangat keras memenuhi kedua gendang telinga. Suara motor sayup-sayup terdengar dari kejauhan. Tiada kata terucap dari insan bernyawa. Semua terlelap menikmati anugerah tuhan yang Maha-kuasa. Mengistirahatkan badan setelah seharian mencari berkah dan rezeki di hamparan bumi-Nya. Inilah kondisi tengah malam yang sepertinya tinggal menunggu berapa menit saja menuju pagi.

Bergegas ambil air wudhu dan memakai sandal menuju tempat ibadah. Begitulah para guru telah mengajarkan agar lebih hati-hati dalam urusan najis. Karena suci dari najis merupakan salah satu dari syarat sahnya shalat. Saya perhatikan lantai dimana kami sekeluarga shalat terlihat bercak-bercak kotor karena air yang mengering. Dipikir-pikir bukankan baru saja mengambil air wudhu, seharusnya kondisi kaki justru lebih bersih. Kenapa kok mengotori lantai? Ternyata bukan air, kaki, atau sandalnya yang kotor, tapi justru lantai yang berdebu. Lantai tampak menjadi lebih kotor walaupun sebenarnya terkena air bersih.

Begitulah barangkali kondisi hati seseorang, terkadang semua yang terlihat, nampak sebagai sesuatu yang salah, walaupun sebenarnya adalah benar. Subjektivitas manusiapun terjadi akibat kondisi hati. Sebagaimana Amin Syukur dalam bukunya Terapi Hati, mengutip pendapatnya Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa hati terdiri dari 3 macam:

Pertama, hati yang sehat dan menyebabkan keselamatan. Hati yang sehat memiliki beberapa tanda, yaitu, imannya kokoh, ahli bersyukur, tidak serakah, kehidupan tenteram, khusyuk dalam beribdah, banyak berdzikir, kebaikan selalu dinamis, segera sadar jika melakukan kesalahan, suka bertobat dan sebagainya.

Kedua, hati yang sakit. Hati yang sakit adalah hati yang masih memiliki keimanan, ada ibadah, ada pahala, namun ada pula noda-noda maksiat dan dosa. Tanda-tanda hati yang sakit antara lain: hati selalu gelisah jauh dari ketenangan, mudah marah, tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki, susah menghargai orang lain, kehidupan tidak nyaman, mengalami penderitaan lahir batin, dan sebagainya.

Ketiga, hati yang mati. Hati yang mati berarti hati yang telah mengeras dan membatu karena terlalu banyak kotoran akibat dosa-dosa yang diperbuat. Sebagaimana firman Allah:

وَمَا يُكَذِّبُ بِهِ إِلا كُلُّ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ، إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الأوَّلِينَ، كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Artinya: “Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu melainkan Setiap orang yang melampaui batas lagi berdosa, yang apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: "Itu adalah dongengan orang-orang yang dahulu", sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka. (QS Al-Muthaffifin [83]: 12-14)

Hati yang bersih dan sehat bisa saja menjadi sakit bahkan kotor dan menjadi mati disebabkan karena dosa. Sehingga ketika hati sudah mati tiada sesuatu pun yang indah dalam dirinya. Sebagaimana potongan hadits mengatakan “.....jika baik hati seseorang maka baik pula seluruh anggota badan...”.

Setidaknya ada 5 hal yang dapat mengobati hati, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Kifayatul Atqiya karya Sayid Abu Bakr. Pertama, membaca Al-Qur’an dengan penghayatan arti dan maknanya. Kedua, membiasakan diri dalam kondisi tidak kenyang atau dengan banyak berpuasa. Ketiga, beribadah di waktu malam, baik dengan shalat, membaca Al-Qur’an, berdzikir dan sebagainya. Keempat, mendekatkan diri kepada Allah sedekat dekatnya di waktu sahur. Kelima, berkumpul dengan orang-orang yang shalaeh, yang dapat membimbing dan menjadi cermin kehidupan yang lebih baik.


Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta