Internasional

Antrean Ramadhan di Arab Saudi

Kam, 16 Mei 2019 | 19:00 WIB

Jakarta, NU Online
Ramadhan adalah bulan yang penuh antrean bagi Yahya bin Syamsuddin, seorang sopir rumahan di Arab Saudi. Awal bulan suci yang sangat dinantikan itu selalu dibuka dengan antrean sepanjang 50 meter demi mendapatkan rezeki 50 Real dari konglomerat di sana.

“Karena ini bisa menyambung tenaga buat ududan apalagi bagi yang sudah bokek. Antrian bisa sampai 50 meter lebih, mungkin kalau dihitung kurang lebih 500 orang, tapi yang nampak di wajah kami adalah senyum khomsin Real,” katanya kepada NU Online pada Rabu (16/5).

Selain itu, antrean lainnya adalah menjelang berbuka puasa. Saat Maghrib tak lama lagi tiba, ia sudah harus tiba di masjid demi menghemat kantongnya, mendapat ta’jil yang dibagikan secara cuma-cuma.

“Karena di situ disediakan takjil khas Arab, seperti kurma dan dilengkapi dengan laban (susu kambing), juga berbagai jenis 'asir (minuman buah-buahan),” ujarnya.

Pria asal Tasikmalaya itu merasa bahagia luar biasa manakala matahari sudah terbenam. Betapa tidak, ia berjam-jam di bawah terik mentari yang menyengat, menahan lapar dan dahaga disambut dengan penganan yang dinantikannya.

Terlebih selepas itu, ia juga menikmati makan besarnya khas miah filmiah menu Arab, seperti nasi kabsah, nasi bukhori, dan ayam panggangnya, nasi mandi ayam, daging kambing, dan lain-lain.

“Dengan duduk berdampingan dan berhadapan dengan teman yang berbeda bahasa dan negara, sungguh indah,” ucapnya.

Namun hal tersebut bisa lenyap begitu saja sebelum waktunya tiba. Ya, panggilan sebagai seorang sopir datang saat tengah mengantre. Tentu saja ia memilih meninggalkan yang sudah dilakukannya demi agar tak mendapat ‘semprot’ majikan.

“Mau dilanjut mengantri, majikan pasti marah. Mau ditinggal, alamat gak dapat nasi buat ta'jil,” katanya sembari tertawa. 

Tentu saja hal tersebut membuatnya dilema. Akan tetapi, pilihan selalu jatuh pada majikannya dan meninggalkan antreannya. “Akhirnya terpaksa harus mengalah dan meninggalkan antrian. Dan akhirnya harus ta'jil seadanya walaupun hanya air putih,” cerita Nahdliyin yang tinggal di Jeddah itu. (Syakir NF/Abdullah Alawi)