Internasional

Dodol Rasa Songkok Atlas di Negeri Kamboja

Ahad, 12 November 2017 | 11:30 WIB

Phnom Penh, NU Online 
Ini mungkin satu-satunya hal konyol yang pernah dilakukan oleh "foreigner". Ceritanya begini, beberapa hari lalu, saya berangkat ke Kamboja setalah dipastikan mendapatkan kesempatan ikut Youth Exchange untuk magang mengajar bahasa Inggris kepada anak-anak di negara itu selama 6 pekan. Dari awal saya sudah menyiapkan oleh-oleh buat pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap project saya selama di negara tersebut.

Dua hari menjelang pemberangkatan, saya memutuskan membawa dodol beberapa bungkus yang berukuran seperempat kilogram dengan aneka warna dan rasa. Lazimnya dodol, buah tangan yang rasanya manis tersebut hanya terbungkus plastik bening dan ditempel merk oleh-oleh khas Bandung. Padahal sebelumnya saya berniat membawa "jenang” khas Kudus, sayangnya saya tidak sempat pulang kampung terlebih dahulu.

Sebelum berangkat ke bandara Soekarno Hatta, saya menata perlengkapan ke koper di kosan teman dan merasa, "Kok bungkus dodolnya nampak kurang menarik ya...". Saat itu juga saya melihat seisi kamar tidak ada sama sekali wadah/kardus kecil yang pas untuk wadahnya supaya terlihat tambah 'manis'.

Naluri koplak saya tiba-tiba muncul. Naluri santri yang suka memanfaatkan segala sesuatu ketika sedang kepepet. Saya mengamati ternyata ada wadah bungkus peci (baru) merk Atlas yang baru saja dibeli sebelum membeli dodol. Akhirnya peci tersebut saya keluarkan, lalu dodol dua bungkus tanpa ragu saya masukkan ke dalam kardus tersebut. 

Saya mencoba berpikir sejenak. "Kayaknya orang Kamboja enggak akan tahu kalau kardus ini bekas wadah peci, bukan wadah aslinya dodol,” pikirku sambil ketawa kecil dalam hati. Dengan bacaan Bismillah, saat itu pokoknya saya yakin berniat baik hendak memberikan oleh-oleh dodol itu kepada orang Kamboja.

Saat-saat yang mendebarkan akhirnya tiba. Sekitar dua hari setelah sampai di Phnom Penh, ibu kota Kamboja, pagi-pagi hari saya menemui sang owner sekolah di kantornya. Dengan wajah sedikit malu, saya bilang, "Sorry, Miss, this is a special gift from my country, it like a candy. Its taste is sweet".

Dengan wajah gembira, perempuan berparas Chinese itu antusias menerima oleh-oleh dari saya.

Bayangkan saja, di wadah tersebut masih tercantum nomor ukuran dan tinggi peci. Untungnya tidak ada gambar pecinya. Meskipun ada tulisan “songkok”, tapi saya yakin dia tidak akan mengetahui bahwa itu adalah wadah peci alias songkok hitam yang biasa dipakai Muslim Indonesia. 

Saya sebenarnya tidak berniat jahil, justru saya ingin menambah ‘manis’ oleh-oleh tersebut supaya yang menerima tambah senang dalam menikmati manisnya dodol. Meskipun memang nampak agak lucu juga, menertawai diri sendiri, masak dodol kok bungkusnya dari wadah peci.

Bilamana nanti dia menanyakan tentang asal-usul wadah tersebut, insyaallah saya akan menjawabnya dengan jujur. Namun saya tetap yakin, oleh-oleh tersebut sudah habis dilahap atau wadahnya sudah dibuang entah kemana. Pokoknya kalau Anda keluar negeri, jangan lupa bawa oleh-oleh khas negeri kita untuk kolega atau rekan dekat kita. Insyaallah berkah seperti dodol rasa peci alias songkok. (M. Zidni Nafi’/Abdullah Alawi)