Internasional

Kilas 2018: Geger Muslim Uighur

NU Online  ·  Kamis, 27 Desember 2018 | 08:00 WIB

Kilas 2018: Geger Muslim Uighur

Foto: How Hwee Young/EPA

Jakarta, NU Online
Salah satu topik yang menjadi pembicaraan di seluruh dunia sepanjang 2018 adalah persoalan Muslim Uighur di Xinjiang, China. Bagaimana tidak, pada Agustus lalu ada laporan yang menyebutkan bahwa China telah menahan jutaan Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya dan menempatkan mereka di ‘kamp-kamp interniran.’

Pada saat itu, dari laporan yang diterimanya, salah satu anggota Komite Penghapusan Diskriminasi Rasional PBB, Gary McDougall mengungkapkan, sekitar dua juta warga Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya diwajibkan menjalani indoktrinasi di sebuah kamp politik di Xinjiang. 

“(China) telah mengubah wilayah otonomi Uighur menjadi sebuah penampungan raksasa rahasia, semacam sebuah zona tanpa hak asasi,” kata McDougall, dikutip dari lama Reuters, Sabtu (11/8).

McDougall juga mengatakan kalau warga etnis Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di China diperlakukan bak musuh negara karena identitasnya. Seratus lebih mahasiswa Uighur ditahan otoritas setempat usai mereka kembali dari belajar di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir,Turki, dan lainnya. Tidak sedikit dari mereka yang meninggal di dalam tahanan.

Laporan Human Right Watch

Sebulan setelahnya, lembaga hak asasi manusia yang bermarkas di New York, Human Right Watch, mengeluarkan sebuah laporan yang menguatkan tuduhan PBB tersebut di atas.  

Sebagaimana dikutip Reuters, Senin (10/9), Human Right Watch melaporkan, sebagian besar minoritas Muslim Uighur di Xinjiang China mengalami penahanan sewenang-wenang. Mereka juga menghadapi pembatasan harian terhadap praktik keagamaan dan ‘indoktrinasi politik paksa.’

Menurut Human Right Watch, di ‘kamp-kamp tahanan itu,’ Muslim Uighur dan lainnya dilarang mengucapkan salam. Mereka harus mempelajari bahasa Mandarin dan menyanyikan lagu-lagu propaganda. Jika menolak instruksi yang ditetapkan pihak berwenang, mereka akan dihukum seperti tidak mendapatkan makanan atau berdiri selama 24 jam, atau ditempatkan di ruang isolasi.

Tidak hanya sampai di situ, diberitakan Muslim Uighur juga dilarang mengenakan jilbab, memelihara jenggot, dan melakukan ritual-ritual keagamaan di depan umum. Bahkan, rumah-rumah mereka di wilayah Xinjiang dipasangi kode QR sebagai upaya untuk mengontrol populasi dan aktivitas Muslim Uighur.

Human Right Watch menyebut kalau Muslim di Xinjiang itu telah lama ditargetkan pihak berwenang tanpa prosedur formal.

China tolak tuduhan

China menolak tuduhan yang menyatakan kalau sejuta Muslim Uighur ditahan di sebuah kamp pengasingan di Xinjiang. Akan tetapi, China menyebut kalau orang-orang tersebut sedang diberi ‘perlakuan khusus’ atau pendidikan ulang setelah terpapar ekstremisme.

Wakil Direktur Jenderal United Front Work Department Komite Sentral CPC, Hu Lianhe, mengatakan, pihak berwenang di wilayah Xinjiang melindungi penuh hak setiap warga secara setara.

“Argumen bahwa satu juta orang ditahan di pusat-pusat pendidikan ulang sepenuhnya tidak benar,” kata Hu, dilansir laman Reuters, Senin (13/8).

Hu menjelaskan, pihak berwenang menjamin kebebasan beragama bagi warganya dan melindungi aktivitas keagamaan mereka. Akan tetapi, mereka yang terpapar virus-virus radikalisme agama harus ‘disembuhkan’ dengan memberinya pendidikan ulang.

Dia menuturkan, China telah menekan kejahatan ekstremis dan teroris sesuai dengan hukum yang ada. Hu menambahkan, apa yang dilakukan pemerintah China itu tidak menargetkan kelompok minoritas tertentu atau melakukan ‘de-islamisasi.’ Itu dilakukan untuk menekan ekstremisme.

Dipaksa bekerja

Pada pertengahan Desember, dunia kembali dikagetkan dengan kabar Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya yang berada di kamp-kamp penahanan di Xinjiang. Pasalnya, jutaan Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya yang ditahan itu dikabaran dipaksa untuk bekerja di sejumlah pabrik yang dibangun di sekitaran atau di dalam area kamp penahanan. Laporan ini didasarkan pada citra satelit, kesaksian dari saudara korban, dan sejumlah dokumen. 

“Orang-orang yang ditahan ini menyediakan tenaga kerja gratis atau murah untuk pabrik-pabrik ini,” kata Mehmet Volkan Kasikci, seorang peneliti di Turki yang meneliti kasus Muslim Uighur, dikutip dari laman New York Times, Ahad (16/12).

Senada dengan Kasikci, pendiri Atajurt Kazakh Hak Asasi Manusia Serikzhan Bilash mengatakan, mereka dipaksa bekerja di pabrik setelah menjalani indoktrinasi di kamp-kamp. Bilash mengaku telah mewawancarai keluarga dari 10 Muslim di Xinjiang yang ditahan di sana. 

Dilaporkan bahwa Muslim Uighur yang ditahan di kamp-kamp interniran tersebut dipaksa bekerja membuat pakaian dengan upah yang rendah dan kondisi di pabrik yang buruk.  

Respons Wapres JK soal persoalan Muslim Uighur

Persoalan Muslim Uighur kembali menjadi ramai lagi di Indonesia setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengemukakan responsnya. Wapres Jk menolak segala bentuk penindasan yang dilakukan kepada Muslim Uighur. Meski demikian, Wapres JK menyatakan kalau Indonesia tidak bisa ikut campu dalam hal itu karena itu menjadi persoalan domestika China. 

"Kalau masalah domestik tentu kita tidak ingin campuri masalah itu," katanya kepada awak media di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (17/12).

Merek Pakaian Olahraga AS Beli Produk dari ‘Kamp Penahanan’

Kantor berita Associated Press, sebagaimana diberitakan abc.net.au, Sabtu (18/12) lalu, telah melacak pengiriman yang berlangsung terus menerus dari salah satu pabrik tersebut –Hetian Taida Apparel- yang berlokasi di dalam sebuah kamp penahanan warga ke Badger Sportswear, pemasok terkemuka di Statesville, North Carolina, Amerika Serikat.

Produk pakaian Badger Sportswear tersebut lalu dijual di kampus-kampus di universitas dan tim olahraga di seluruh AS, meskipun tidak ada cara untuk mengetahui di mana baju tertentu yang dibuat di Xinjiang berakhir.

Kepala eksekutif Badger, John Anton, mengakui bahwa sekitar satu persen atau kurang produknya memang berasal dari Hetian Taida Apparel, pabrik yang berlokasi di kamp penahanan Xinjiang. Oleh karenanya, ia menegaskan perusahaannya akan menangguhkan pengiriman selama proses penyelidikan berlangsung.

“Kami segera menangguhkan pemesanan produk dari Hetian Taida dan afiliasinya saat penyelidikan dilakukan,” tulis Anton di akun Twitternya.

Anton juga menyatakan bahwa perusahaannya tidak akan mengirimkan produk-produk dari Hetian Taida kepada para pelanggannya.

“Kami tidak akan mengirim kepada pelanggan produk apa pun yang kami miliki dari fasilitas itu,” tegasnya.

Sementara itu, Direktur Hetian Taida, Wu Hongbo, mengakui kalau perusahaannya memang memiliki pabrik di dalam kompleks kamp ‘pendidikan ulang’ itu. Namun demikian, ia mengklaim kalau perusahaannya justru menyediakan lapangan kerja bagi para peserta pelatihan yang oleh pemerintah dianggap "tidak masalah".

“Kami membuat kontribusi kami untuk memberantas kemiskinan,” kata Wu.

Kata PCINU Tiongkok

Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok Imron Rosyadi Hamid menjelaskan, persoalan di Xinjiang yang melibatkan Muslim Uighur tidak bisa dikaitkan dengan kebijakan anti-Islam.  Menurutnya, apa yang dilakukan pemerintah China adalah untuk mencegah gerakan  separatisme.

“Sehingga jika pun ada dugaan terjadinya tindakan pelanggaran HAM di sana tetap harus ditempatkan pada persoalan cara penanganan separatisme yang kurang tepat, bukan pada kesimpulan bahwa pemerintah China anti-Islam,” kata Imron saat dimintai keterangan NU Online, Selasa (18/12). 

Indonsia, lanjut Imron, juga memiliki sejarah kelam dalam hal penanganan gerakan separatisme seperti di Aceh dengan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM). Namun demikian, dunia internasional tetap memandang persoalan tersebut sebagai masalah dalam negeri Indonesia.

Imron menegaskan, konstitusi China menjamin kebebasan beragama, termasu Islam. Bagi Imron, kehidupan Muslim di China, di luar Xinjiang, berjalan baik. Bahkan pemerintah China membangun fasilitas bagi kepentingan Muslim seperti Hui Culture Park senilai 3,7 miliar dolar Amerika Serikat (51 triliun rupiah). 

Kedubes China di Jakarta didemo

Massa menggelar demonstrasi solidaritas untuk muslim Uighur di depan Kedubes China, Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (21/12). Mereka memenuhi jalan di depan Kedubes China hingga tak ada kendaraan yang bisa lewat.

Para peserta demo mengenakan baju berwarna putih dan hitam. Mereka juga membawa bendera tauhid dan spanduk-spanduk yang bertuliskan dukungan untuk Muslim Uighur. Spanduk-spanduk yang dibawa bertuliskan 'Bersatu bebaskan muslim Uighur', 'Aksi Solidaritas untuk Muslim Uighur'. Beberapa kali, mereka juga meneriakkan takbir dan menyanyikan yel-yel antikomunis.

Dalam aksi demo tersebut, para peserta juga membawa poster yang di dalamnya ada logo sejumlah gerakan massa mulai dari PA 212 hingga GNPF-Ulama.

Dubes China bertamu ke PBNU

Duta Besar (Dubes) China untuk Indonesia Xiao Qian mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jalan Kramat Raya, Jakarta, pada Senin (24/12) sore. Dalam kesempatan itu, Dubes Qian menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi terhadap Muslim Uighur di Xinjiang dan bagaimana kebijakan China terhadap mereka. 

Dubes Qian menegaskan, semua masyarakat China dari berbagai suku –termasuk Uighur- memiliki kebebasan dalam beragama. Dian mengatakan, persoalan di Xinjiang adalah persoalan separatisme. 

“Tapi demikian masih ada segelintir oknum yang berencana memisahkan Xinjiang dari Tiongkok dengan menggunakan tindakan kekerasan, bahkan terorisme,” kata Dubes Qian melalui penerjemahnya.

Terkait dengan kelompok-kelompok separatis seperti itu, kata Dubes Qian, China mengambil beberapa langkah kebijakan. Diantaranya mengadakan program pendidikan dan vokasi sehingga mereka memiliki keterampilan untuk mendapatkan kerja dan memperoleh gaji yang stabil.

Dia mengklaim, program tersebut sukses karena banyak orang yang masuk program pendidikan tersebut memiliki keterampilan dan memperoleh gaji.

Tanggapan PBNU atas persoalan Muslim Uighur

Setelah melakukan diskusi dengan Dubes China, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj, menyimpulkan dua hal. Pertama, masalah agama. Menurut Kiai Said, pemerintah China menjamin kebebasan rakyatnya dalam beragama. Setiap orang bebas menjalankan agamanya masing-masing. Kebebasan beragama ini ada sejak era reformasi China di bawah Presiden Xi Jinping. 

“Saya pun pernah ke sana (China). Banyak yang sudah ke sana, para kiai, tokoh agama menyaksikan bagaimana masjid-masjid dibangun, imam-imam digaji dengan wajar, dan kumpulan orang Islam dipelihara. Shalat, pengajian boleh asal tidak di luar masjid,” jelas Kiai Said.

Pengasuh Pesantren al-Tsaqafah ini menuturkan, dirinya pernah mampir ke rumah Haji Muhammad, seorang Muslim di China. Dari cerita Haji Muhammad, Kiai Said menyebut kalau kondisi umat Islam di China saat ini lebih baik jika dibandingkan dengan era komunis. 

“Bahkan mereka (Muslim China) mendapat dukungan dalam menyebarkan agama Islam, asal tidak mengganggu ketertiban umum,” ucapnya.

Kedua, masalah politik. Kiai Said mengatakan, sejak dahulu kala Muslim Uighur memberontak Kaisar China. Mereka ingin memisahkan diri dari Beijing. Hal itu disebabkan karena Muslim Uighur memiliki gen yang hampir sama dengan Asia Tengah, dari pada dengan mayoritas masyarakat China.

“Kalau itu sikap politik separatisme, kita paling memberikan masukan. Tidak bisa mengecam karena urusan dalam negeri. Seperti kita kalau ada pemberontakan di Aceh atau Papua, luar negeri jangan ikut campur,” jelasnya.

Kiai Said memberikan beberapa usul tentang bagaimana seharusnya pemerintah China menangani persoalan Muslim Uighur. Pertama, Muslim Uighur diberi kebebasan. Kedua, mereka diakui eksistensinya. Ketiga, diberi kebebasan bekerja atau mengembangkan ekonomi, pendidikan.

Akan tetapi, lanjut Kiai Said, jika persoalan terhadap Muslim Uighur adalah persoalan agama maka semua umat Islam harus bersuara. “Tapi kalau itu urusan agama, NU tidak akan diam,” tegasnya. 

Kiai Said mengaku siap apabila NU digandeng sebagai mediator persoalan pemerintah China dan Muslim Uighur. Kiai Said menyebut, NU memiliki jejak rekam menjadi ‘juru damai’ antara dua kelompok yang ‘berkonflik.’ Mulai dari konflik Pattani-pemerintah Thailand, Sunni-Syiah di Irak, hingga Taliban-pemerintah Afghanistan. Meski yang terakhir masih terus diupayakan hingga hari ini. (Muchlishon)