Kisah Pilu TKW Cari Keadilan di Hong Kong (4)
NU Online · Selasa, 7 Oktober 2014 | 16:59 WIB
Jakarta, NU Online
Ia tak lagi punya pekerjaan, pun tempat tinggal dan uang. Mary terpaksa tidur di penampungan, yang menyediakan makanan, mengurus biaya pembaruan visa, serta memberikan uang saku secukupnya. Beberapa pembantu di sana tidur di ranjang bertingkat.
<>
Kerap kali mereka tidur seranjang berdua. Lainnya tidur bagai ikan asin yang dijemur, kata seorang penghuni penampungan, berbaring di atas tikar di lantai tanpa selimut. Mereka berbagi tugas agar penampungan tetap bersih. Demikian kisah yang dilaporkan oleh Wall Street Journal.
Di satu penampungan, nyaris semua pembantu merupakan pemeluk Katolik asal Filipina. Mereka berbicara dalam bahasa Tagalog atau Inggris, bukan Bahasa Indonesia. Mary merasa kesepian dan terkucilkan. Ia pun kesal, lantaran tak menghasilkan sepeser pun pendapatan. Terlebih, ia harus lama menanti awal persidangan atas kasusnya.
Ia berhenti menggunakan jilbab—yang mulai dipakai lagi kala meninggalkan apartemen. Ia tak lagi menunaikan salat agar tidak terlihat berbeda dari penghuni lain. Namun, batinnya tetap mendaraskan pertanyaan kepada Yang Kuasa: “Apa yang sudah hamba lakukan kepada-Mu, sehingga Engkau menguji hamba sebegitu dahsyat?”
Berbulan-bulan berlalu. Mary mulai terbiasa dengan hidup yang serba-menunggu. Ia pindah ke penampungan Indonesia. Di sana, ia kembali menunaikan salat dan mengaji bersama teman setanah air. Ia juga mendampingi PRT menganggur di Hong Kong. Mary mengantar mereka naik trem tingkat ke kantor Departemen Imigrasi untuk mengisi formulir yang dibutuhkan.
Dengan bantuan sukarelawan, ia menyerahkan aduan ke Pengadilan Buruh. Mary memperjuangkan ganti rugi HKD 8.976 atau sekitar Rp14 juta, yang sebagian besar—katanya—merupakan upah yang belum dibayarkan Madam serta ongkos pulang ke Indonesia. Ia mendapat HKD 4.800 atau kira-kira Rp7,5 juta, lewat kesepakatan dengan mantan majikannya, menurut Pengadilan Buruh.
Mary mulai menikmati acara-acara kumpul-kumpul para pembantu migran di taman-taman serta trotoar Hong Kong. Mereka nyaris rutin bertemu pada hari Minggu. Berkelompok, duduk-duduk beralaskan kardus, para PRT sibuk bermain kartu, ber-selfie, atau belajar membuat tas tangan.
Sidang Mary dimulai di Hong Kong pada Mei 2013. Saat itu, ia dan suaminya sudah kembali berbaikan. “Tetap kuat dan ceritakan yang sesungguhnya,” kata suaminya lewat pesan singkat. “Jangan berbohong. Di sini, kamu bisa bohong dan menang, tapi tidak di akhirat.”
Suk Suk menghadapi enam tuntutan, mulai perlakuan tak senonoh hingga pemerkosaan. Nasibnya berada di tangan tujuh juri. Butuh suara mayoritas lima juri untuk menjatuhkan vonis. Suk Suk mengajukan pembelaan tak bersalah.
Ketika ia berada di podium saksi menunggu jaksa mulai berbicara, Mary sekelebat menatap para juri. Bagi Mary, mereka semua bagaikan Suk Suk. “Apakah mereka bisa berlaku adil?” batinnya. Ketakutan mencekik perasaannya. (mukafi niam)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Meraih Keutamaan Bulan Muharram
2
Koordinator Aksi Demo ODOL Diringkus ke Polda Metro Jaya
3
5 Fadilah Puasa Sunnah Muharram, Khusus Asyura Jadi Pelebur Dosa
4
Khutbah Jumat: Memaknai Muharram dan Fluktuasi Kehidupan
5
Khutbah Jumat: Meraih Ampunan Melalui Amal Kebaikan di Bulan Muharram
6
5 Doa Pilihan untuk Hari Asyura 10 Muharram, Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
Terkini
Lihat Semua