Internasional

Korban Penembakan di Masjid Christchurch Sampaikan Testimoni Mengharukan

Sel, 25 Agustus 2020 | 12:30 WIB

Korban Penembakan di Masjid Christchurch Sampaikan Testimoni Mengharukan

Janna Ezat (tengah) memaafkan Brenton Tarrant yang telah membunuh anaknya. (Foto: nzherald)

Christchurch, NU Online
Para korban penembakan massal di dua masjid di Christchurch menyampaikan cerita pilu di ruang Pengadilan Tinggi di Selandia Baru pada Senin (24/8). Testimoni tersebut disampaikan ketika pelaku teror di dua masjid di Christchurch, Brenton Tarrant, akan dijatuhi hukuman.


Ibu dari seorang korban penembakan di masjid Christchurch bernama Hussein al-Umari (35) adalah Janna Ezat. Dengan isak tangis, Ezat menceritakan bagaimana dirinya menerima jenazah anak laki-lakinya pada saat hari ulang tahunnya, dan Hari Ibu yang dirayakan di Timur Tengah (21 Maret). 


"Dulu Hussein Al-Umari memberi saya bunga untuk ulang tahun saya, tetapi saya malah mendapatkan jasadnya," kata Ezat di hari pertama persidangan Tarrant, dikutip laman nzherald, Senin (24/8). Ezat bersama keluarganya datang ke Selandia Baru pada 1997, atau pada saat Al-Umari berusia 12 tahun. 


Di tengah testimoninya yang mengharukan, Ezat mengeluarkan pernyataan yang melegakan. Meski anaknya sudah dibunuh Tarrant, Ezat tetap tidak membenci dan telah memaafkan penganut ideologi supremasi kulit putih tersebut. 


"Saya memutuskan untuk memaafkan Anda, Tuan Tarrant karena saya tidak memiliki kebencian. Saya tidak punya pilihan," tegasnya. Saat Ezat menyampaikan pernyataan tersebut, Tarrant terlihat mengangguk dan mengusap mata.


Ezat kemudian menceritakan tentang sosok anaknya, al-Umari. Menurutnya, al-Umari adalah seorang yang baik, rendah hati, perhatian, dan pekerja keras. Disebutkan kalau al-Umari memiliki keahlian untuk membuat semua orang merasa istimewa dan dihargai.


Seorang korban selamat, Khaled Alnobani, menggambarkan ketidakmampuannya untuk kembali bekerja penuh waktu karena ia berjuang dengan 'kehidupan sehari-hari'. Hal itu membuatnya merasa tidak enak karena tidak bisa membantu lebih banyak orang. Dia juga masih terkejut dengan apa yang dia lihat pada hari penembakan itu.


"Setiap kali ada orang yang berbicara kepada saya tentang penembakan itu, saya menjadi kesal dan marah," katanya.


Kendati demikian, dia mengakhiri testimoninya dengan berterimakasih kepada Tarrant. Menurutnya, Tarrant telah membuat semuanya bersatu. "Hati saya hancur, tetapi diri saya tidak hancur. Kami jadi bersatu dan terima kasih untuk itu," lanjutnya.


Untuk diketahui, pada 15 Maret 2019 lalu seorang penganut paham supremasi kulit putih dari Australia, Brenton Tarran (29), menembak secara brutal ke arah orang-orang yang akan melaksanakan Shalat Jumat di dua masjid di Kota Christchurch, yaitu Masjid Al-Noor dan Masjid Lindwood. Dia menyiarkan aksinya itu secara live di akun Facebooknya. Serangan brutal itu menewaskan 51 orang dan melukai puluhan lainnya. 


Atas aksinya itu, Tarrant didakwa dengan 51 tuduhan pembunuhan, 40 tuduhan percobaan pembunuhan, dan satu tuduhan melakukan tindakan terorisme. Pada Maret 2020, Tarrant mengaku bersalah atas segala dakwaan tersebut.


Pada saat persidangan, Senin (24/8), Tarrant mengaku telah merencanakan aksinya itu selama bertahun-tahun. Menurut jaksa penuntut Barnaby Hawes, diberitakan Reuters, Tarrant telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membeli senjata, mempelajari letak masjid yang menjadi target serangannya dengan menerbangkan drone di atasnya, dan mengatur waktu serangan agar korbannya banyak. Dia menerbangkan drone di atas Masjid Al-Noor dua bulan sebelum serangan dilancarkan. Ketika itu, dia berfokus pada titik masuk dan keluar bangunan.


Disebutkan, dengan melancarkan aksi seperti itu, Tarrant ingin menciptakan ketakutan di antara komunitas Muslim di Selandia Baru. Dia menyesal karena tidak membunuh lebih banyak Muslim dalam insiden tersebut. Lebih dari itu, Tarrant memiliki rencana untuk membakar masjid.

 

Tarrant menghadapi hukuman penjara seumur hidup dengan masa non-pembebasan bersyarat selama 17 tahun. Kendati demikian, hakim memiliki kekuatan untuk memutuskan memenjarakannya tanpa kemungkinan dibebaskan. Dengan demikian, Tarrant akan dipenjara selama sisa hidupnya. Untuk diketahui, hukuman seperti itu sebelumnya tidak pernah dijatuhkan di Selandia Baru. Proses hukuman Tarrant akan memakan waktu setidaknya empat hari.


Pewarta: Muchlishon
Editor: Kendi Setiawan