Internasional

Penyelesaian Konflik Uighur Tak Bisa Abaikan HAM

NU Online  ·  Jumat, 21 Desember 2018 | 00:15 WIB

Penyelesaian Konflik Uighur Tak Bisa Abaikan HAM

Direktur Eksekutif SAS Institute, M Imdadun Rahmat

Jakarta, NU Online
Direktur Said Aqil Siroj Institute, M Imdadun Rahmat menegaskan upaya pemerintah Tiongkok untuk mengatasi persoalan suku Uighur tidak bisa mengabaikan hak asasi manusia (HAM).

"Kita melihat adanya transformasi penanganan terhadap gerakan separatis, yang sayangnya seringkali over dan menimbulkan ekses yang sebenarnya dalam HAM tidak boleh dilakukan misalnya melakukan penangkapan yang tidak melalui prosedur yang benar,” kata Imdad di Gedung PBNU, Kamis (20/12) malam.

Menurut  Ketua Komnas HAM 2016-2017 ini, di Tiongkok ada banyak problem dan isu terkait HAM, seperti ditangkap serta ditekannya para aktivis HAM dan pro demokrasi, termasuk penerima Nobel Perdamaian, Liu Xiobo. 

"Juga pembatasan kebebasan berbicara, kontrol berlebihan terhadap kehidupan keagamaan yang untuk ukuran norma demokrasi Barat ini di bawah standar," ujarnya.

Ia mengatakan benar bahwa sebagian besar warga negara Tiongkok dapat menikmati kebebasan beragama, namun untuk kelompok tertentu belum. "Ada agama resmi yang menjadi kawan pemerintah. Nah, ada juga yang tidak tunduk ke pemerintah dan dimusuhi. Jadi problem HAM di Tiongkok bukan cuma persoalan Muslim saja,” beber Imdad.

Imdad menyebutkan persoalan seperti kelompok Dalai Lama dan kelompok spiritual Falun Gong yang juga dimusuhi Tiongkok, menjadi bukti bahwa persoalan Uighur bukan satu-satunya problem HAM di Tiongkok.  

Oleh karena itu, persoalan Uighur bukan berarti pemerintah Tiongkok anti-Islam. "Perlu dipahami bahwa peristiwa kekerasan dan represi sekelompok Muslim di Uighur bukan cerminan bahwa pemerintah China anti-Islam, bukan itu konteksnya," kata Imdad.

Bahwa pemerintah Tiongkok tidak anti-Islam, terbukti dengan adanya suku Hui yang juga mayoritas beragama Islam dapat hidup wajar dan tidak dipersoalkan. Suku Hui sendiri, kata Imdad, tersebar di beberapa wilayah di Tiongkok.

Namun, kata Imdad, hal yang tidak bisa dipungkiri juga adalah fenomena meningkatnya kekerasan yang ditengarai dilakukan kelompok ekstrem dari Uighur, bahkan ada hubungan dengan Alqaeda. 

"Setelah muncul kekuatan baru ISIS banyak sukarelawan termasuk dari Uighur menjadi bagian ISIS di Syiria dan Irak. Ini memunculkan eskalasi bertambah kuatnya kelompok ekstrem bersenjata dari kelompok Uighur,” ujarnya. 

Imdad kembali menegaskan bahwa tindakan pemerintah Tiongkok sebagai respons terhadap kelompok ekstremis tersebut dengan melakukan penegakan hukum. “Sayangnya penangkapan itu seringkali ada eksesnya seperti orang yang tidak terlibat punya hubungan terkena imbasnya. Ini jelas memunculkan pelanggaran HAM," katanya. (Kendi Setiawan)