Internasional

Respons non-Muslim Luar Negeri terhadap Orang Berpuasa

NU Online  ·  Selasa, 14 Mei 2019 | 15:15 WIB

Respons non-Muslim Luar Negeri terhadap Orang Berpuasa

Kegiatan buka bersama muslim rantau

Jakarta, NU Online
Puasa selama 21 jam tentu cukup memberatkan. Apalagi ditambah suhu udara yang mencapai 30 derajat celsius. Tapi bukan halangan bagi seorang Arif Tirto Aji menjalani rukun Islam Keempat itu.

Melihat hal itu, rekan-rekannya tentu saja tak tinggal diam. Mereka meminta Arif untuk menghentikan kegiatannya tersebut. Hal itu dilakukan dengan menawarkan berbagai penganan yang dibawanya saat Summer Trip dua tahun lalu. "Tentu saja saya tolak," kata pria yang tengah menempuh studi doktoral di Universitas Aalto, Finlandia itu kepada NU Online, pada Senin (13/5).

Nahdliyin yang tengah berstudi di Finlandia itu menceritakan justru sejawatnya yang pucat karena mengkhawatirkan keadaannya. Mereka, katanya, menilai puasa sebagai ketentuan yang kurang bijak. "Minimnya pengetahuan orang di sini tentang agama Islam, mereka menganggap puasa adalah hal yang kurang bijak," ujarnya.

Arif juga pernah menerima surel (email) dari guru anak-anaknya yang meminta agar anak-anaknya tidak melakukan puasa. Ia pun menyampaikan pesan tersebut ke buah cintanya. "Tapi malah mereka (anak-anaknya) marahin saya. Terus saya harus gimana?" ucap penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) tersebut.

Berbeda dengan non-Muslim di Amerika Serikat. Any Rufaedah, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, menceritakan bahwa mereka mengerti Muslim Indonesia yang tengah berpuasa. Saat waktu makan siang tiba, ia berpindah demi menghormatinya meskipun Any sendiri mencegahnya.

"Gak mengganggu, mereka sangat menghormati. Pas waktu makan siang, mereka pindah ke ruang lain karena tahu saya sedang puasa," cerita peneliti di Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) itu.

Masyarakat non-Muslim di Jepang juga berbeda. Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jepang Miftakhul Huda menuturkan bahwa mereka bukan saja menghormati, tapi membaur. "Kadang beberapa orang Jepang ikut acara buka bersama yang diadakan umat Islam di sini," ujar Peneliti Nanotek, Semikon, dan Katalis di Tokyo Institute of Technology itu. (Syakir NF/Muiz)