Internasional

Saat Angin Dingin Sambut Tarhib Ramadhan di Amsterdam

NU Online  ·  Ahad, 19 Mei 2019 | 09:00 WIB

Saat Angin Dingin Sambut Tarhib Ramadhan di Amsterdam

Penulis (ketiga dari kiri) bersama Muslim di Belanda.

Dikenal sebagai negara kincir angin, Belanda atau Nederland memanfaatkan anginnya dengan membuat banyak kincir untuk menggerakkan molen dan menjadi sumber tenaga energi. Benar-benar inovasi yang sangat brilian dan kreatif, menjadikan masalah bukan halangan untuk maju, seperti mengubah penyakit menjadi obat, mengganti kesulitan menjadi sumber kebahagiaan. Dan, yang terpenting lagi, belanda mampu menyulap kekurangan menjadi berbagai kelebihan.

Belanda juga dikenal dengan bendungannya yang sangat hebat. Laut pun dibendung menjadi hunian kota. Belanda terus berjuang keras memerangi keterbatasan lahan. Bendungan itu pun dinamakan Dam dalam Bahasa Belanda. Makanya ada kota Rotterdam dan Amsterdam. Hal yang lebih mengagetkan lagi, dana untuk membangun dam-dam itu, tersebut dalam sebuah sumber sejarah, berasal dari Indonesia. Sewaktu dulu Belanda menjajah Indonesia kurang lebih 350 tahun, dengan mengeruk hasil sumber daya alam Indonesia lalu dibawa ke Belanda melalui VOC.

Itulah sekelumit kisah tentang sejarah dam belanda. Saya ingin menceritakan tentang kedatangan saya di Belanda. Saya Khumaini Rosadi, tiba di Schipol, Amsterdam. Dijemput oleh staff KBRI Bapak Marzha, sehingga dengan lancar saya melewati immigrasi Belanda. Turun dari pesawat saya sudah disambut oleh semilir angin yang dingin seakan menusuk sampai ke tulang.

Saya lihat di layar android saya menginformasikan suhu di Amsterdam tiga derajat Celcius. Mmmmmhh, pantas sesaat saya turun dari pesawat bibir saya pun langsung mengering dan pecah-pecah. Padahal, sebelumnya di Jakarta normal-normal saja. Mungkin kaget dengan perubahan yang drastis dari Indonesia yang sekarang sedang musim panas, tiba-tiba ke Belanda yang langsung dingin. Ibarat gelas dingin yang dituangi dengan air panas langsung retak dan pecah.

Hari itu, Jumat 3 Mei 2019, saya berangkat dari Indonesia dinihari, menikmati penerbangan kurang lebih enam jam ke Shanghai. Bertepatan dengan musim liburan, tiket penerbangan yang langsung Jakarta ke Amsterdam penuh. Sampai di Shanghai saya transit sekitar lima jam. Berangkat lagi dari Shanghai, China ke Amstredam pukul 13.00 waktu Shanghai. Di dalam pesawat kurang lebih sebelas jam, sampai di Amsterdam pukul 17.45 waktu Amsterdam. Perbedaan waktu yang cukup panjang dengan Indonesia. Dengan waktu Indonesia barat seperti di Jakarta berbeda lima jam lebih lambat, dengan waktu Indonesia Tengah seperti di Bontang berbeda enam jam lebih lambat.

Saya datang ke Belanda dlam rangka memenuhi permintaan PPME (Persatuan Pemuda Muslim Eropa) Al-Ikhlas Amsterdam. Saya bertugas untuk mengisi dan mendampingi jamaah selama Ramadhan 1440 H. Sebelumnya saya pernah berdakwah di sini dalam agenda serupa melalui TIDIM Jatman (Tim Inti Dai Internasional dan Media) di tahun 2016 lalu. Alhamdulillah, mungkin jamaah senang dan terkesan, sehingga mereka meminta saya untuk kembali ke sini.

"Karena sudah kangen," ungkap Hansyah Iskandar, Ketua PPME Al-Ikhlas Amsterdam terpilih periode 2019-2022.

Dua hari menjelang Ramadhan, diadakan tarhib Ramadhan. PPME Al-Ikhlas Amstredam memang selalu rutin mengadakan acara ini, di samping acara-acara rutin lainnya, seperti istighotsah sebulan sekali, yasin tahlil setiap malam Jumat, diskusi ilmiah dengan para remaja dan muallaf.

Acara ini dilakukan di samping sebagai bentuk penyambutan Ramadhan dengan penuh kesiapan kebahagaiaan, juga untuk memupuk silaturrahim masyarakat Muslim Indonesia khususnya dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Sehingga, iman tetap terjaga dan bertambah meskipun berada di negeri yang berbeda dengan Indonesia.

H Khumaini Rosadi, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ichsan Bontang, Dai Tidim Jatman, Dai Ambasador Cordofa, Dosen STIT Syam Bontang, Guru PAI SMA YPK Bontang, Muballigh LDNU Bontang, Imam Masjid Agung Al-Hijrah Kota Bontang.