Jatim

KH Afifuddin Muhajir Ulas 5 Prinsip Islam dalam Bernegara

Sen, 14 November 2022 | 08:15 WIB

KH Afifuddin Muhajir Ulas 5 Prinsip Islam dalam Bernegara

Wakil Rais Aam PBNU KH Afifuddin Muhajir. (Foto: Istimewa)

Surabaya, NU Online Jatim
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir mengulas lima prinsip agama Islam dalam bernegara. Apabila lima prinsip tersebut dilaksanakan, maka akan terwujud negara Islam atau negara Islami.


Penegasan tersebut disampaikan dalam Halaqah Fiqih Peradaban yang digelar di Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Agenda bertajuk Fiqih Siyasah dan Tatanan Dunia Baru itu diunggah di kanal YouTube NU Online, Sabtu (12/11/2022).


Kiai Afif menyebutkan, prinsip yang digariskan oleh Islam adalah al-‘adalah (keadilan), al-hurriyyah (kebebasan), al-musawah (kesetaraan), as-syura (permusyawaratan), dan raqabatul ummah (kontrol sosial).


“Prinsip ini juga bukan hanya dapat diterapkan dalam sistem ketatanegaraan. Akan tetapi, bisa juga untuk hal-hal lain,” ungkapnya.


Lalu ada pertanyaan apakah umat Islam di dunia harus satu negara atau berada di berbagai negara? Terkait hal ini, Kiai Afif menegaskan tidak akan bisa ditemukan nash (dalil) dalam Al-Qur’an maupun as-Sunnah.


Terkait sistem pemerintahan dalam negara, Kiai Afif menegaskan berbagai sistem, demokrasi misalnya, tidaklah menyangkut dengan hal-hal mengharamkan dan menghalalkan. Demokrasi merupakan hal yang menyangkut keduniaan dan ketatanegaraan yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits.


Sementara hubungan antara negara dan agama, menurut dia, ada tiga teori yakni ada negara agama, negara sekuler, dan negara simbiosis (perpaduan antara insaniyah dan ilahiyah). Negara dan agama, kata Kiai Afif, memiliki hubungan saling membutuhkan.


Kiai Afif menambahkan, permasalahan terkait negara sangat longgar. Sebab, masuk dalam bagian fiqih muamalah. Sementara fiqih muamalah memiliki prinsip dan kaidah yang berbeda dari fiqih ibadah.


Fiqih muamalah memiliki prinsip di antaranya dibangun di atas dasar kemaslahatan-kemaslahatan dan mengandung kelonggaran sepanjang tidak ditemukan dalil yang melarang.


“Persoalan muamalat itu longgar. Bisa kita melakukan berbagai hal menyangkut fiqih muamalat sepanjang tidak ditemukan dalil-dalil yang melarang,” terang Kiai Afif.
 


Jika ada pertanyaan atau permintaan untuk menghukumi persoalan yang merupakan bagian dari fiqih muamalat, maka menurut Kiai Afif tidak perlu mencari dalil yang membolehkan. Cukup tidak ditemukan dalil yang melarang.