Lampung

Ahmad Hanafiah Ulama Pejuang dari Lampung

Rab, 29 Juni 2022 | 15:00 WIB

Ahmad Hanafiah Ulama Pejuang dari Lampung

foto Ahmad Hanafiah

Oleh: Wahyu Iryana

 

Senin 4 April 2022, penulis menyambangi rumah Arif Mahya, salah satu tokoh Lampung yang pernah mengajukan surat kepada presiden Susilo Bambang terkait ajuan gelar pahlawan nasional dari tokoh pejuang revolusi, KH Ahmad Hanafiah. 

 

Nalar kesejarahan penulis kemudian merangsek ingin mengetahui lebih jauh kiprah dan perjuangan KH Ahmad Hanafiah. Pada tahun 2015, Pemkab Lampung Timur membangun monumen patung KH Ahmad Hanafiah di ruas jalan utama Sukadana. Berdasarkan kesaksian beberapa tokoh di Lampung, salah satunya Arif Mahya, seorang veteran pejuang Lampung era revolusi, mengungkapkan bahwa sepak terjang perjuangan KH Ahmad Hanafiah semasa hidup dalam melawan Belanda menjadi spirit tersendiri bagi masyarakat Lampung. Hal ini yang menunjukan karena sikap ksatria dan pengorbanan yang besar untuk mengusir penjajah dari setiap jengkal tanah pertiwi. 

 

Penulis juga bersilaturahmi kepada zuriah keluarga KH Ahmad Hanafiah di Sukadana Lampung Timur dan Bandar Lampung. 

 

Melalui langkah penelitian sejarah secara heuristik (pencarian sumber), kritik (analisis data), interpretasi, dan historiografi, ditemukan data, bahwa kiprah KH Ahmad Hanafiah dapat dilihat dari pemberian piagam penghargaan Gubernur Lampung kepadanya, dengan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor: G/520/III.04/HK/2015, tanggal 2 November 2015. 

 

Dari piagam tersebut, KH Ahmad Hanafiah dianggap sebagai putra daerah Lampung yang memiliki jiwa dan semangat yang tinggi untuk membawa masyarakat Lampung lepas dari penjajah dan keterbelakangan, baik secara birokrasi, perjuangan fisik maupun transformasi ilmu pengetahuan. 


KH Ahmad Hanafiah dilahirkan di Sukadana Lampung Timur pada tahun 1905 dengan nama Ahmad Hanafiah (sering pula disebut Ali Hanafiah atau “Alfiah”), dari seorang tokoh dan pemuka agama Islam, KH Moehammad Noer. Salah satu pimpinan pondok pesantren Istishodiyah di Sukadana, yang juga termasuk pondok pesantren pertama di Provinsi Lampung.

 

Semasa hidupnya, beliau pernah mengenyam pendidikan di daerahnya, Sukadana. Belajar agama Islam kepada ayahnya sendiri. Juga, pernah belajar di sejumlah pondok pesantren di luar negeri, seperti di Malaysia Makkah dan Madinah. 

 

Di Malaysia, Kiai Hanafiah bergelut dengan dunia tarekat Qadiriyah, antara tahun 1925-1930 dan tarekat Syattariyah sekitar tahun 1930-an. Kemudian dilanjutkan menuntut ilmu ke Makkah pada tahun 1930-1936.

 

Setelah selesai dari pengembaraanya mencari ilmu, Kiai Hanafiah mulai berkiprah di masyarakat Lampung, sebagai seorang birokrat. Tidak tanggung-tanggung, bahkan beliau dipercaya sebagai Wedana Kepala Daerah Kawedanan Sukadana di Lampung Timur pada tahun 1945-1946, serta Wakil Kepala merangkap Kepala Bagian Islam pada Kantor Jawatan Agama (dulu Departemen Agama atau kini Kementerian Agama RI) untuk Karesidenan Lampung, pada 1947, di Tanjungkarang, Bandar Lampung. 


Pada awal abad 20 M, KH Ahmad Hanafiah layak untuk disebut sebagai salah satu tokoh yang telah ikut serta mempertahankan supremasi intelektualisme Islam Nusantara di daerah Lampung hingga penghujung millenium yang lalu. 


Bila selama ini berbagai kajian hanya berkutat pada sejumlah nama besar intelektual Islam awal abad 20 yaitu Syeikh Muhammad Saleh Darat dari Semarang (w. 1903), Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau (w. 1916), dan Syeikh Muhammad Yasin al-Padani (1917-1990), maka diharapkan dengan penelitian ini, kini kita dapat menambahkan deret nama para tokoh tersebut dengan nama KH Ahmad Hanafiah dari Lampung (1905-1947).


Selain sebagai sosok intelektual muslim dengan beberapa karya dan kiprahnya, KH Ahmad Hanafiah juga merupakan sosok yang sangat kental dengan genderang Jihad di bumi Lampung. Berbeda dari kiprahnya sebagai intelektual Islam yang belum begitu banyak tergali, justru kita banyak menemukan data yang memberikan kesaksian bahwa KH Ahmad Hanafiah merupakan tokoh pergerakan dan aktivis komando Jihad Fi Sabilillah di bumi Ruwa Jurai ini. Kiprahnya yang paling nyata yakni perjuangan melawan agresi Belanda dari Palembang ke Lampung, yang dikenal sebagai Front Batu Raja dan Front Pertempuran Kemarung. 

 

Jejak Perjuangan KH Ahmad Hanafiah

 

Saat terjadinya Perang Dunia II, Belanda tidak dapat mempertahankan Indonesia. Nusantara pun jatuh ke tangan Jepang. Pada masa pendudukan Dai Nippon di tanah air, Kiai Ahmad diangkat menjadi anggota Sa-ingkai atau semacam anggota dewan daerah di Karesidenan Lampung. Dari sinilah bermula kiprahnya dalam dunia perpolitikan. Pada akhirnya, semangat jihad terus mendorongnya untuk berjuang dalam membebaskan Indonesia. 

 

Ketika Belanda kembali ke Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan, sebagai bagian dari pemerintah, Kiai Ahmad mempunyai kewajiban mempertahankan kemerdekaan. Kala itu, seluruh elemen bangsa berupaya menjaga kedaulatan negeri. KH Ahmad Hanafiah mengkordinir para pejuang Laskah Hizbullah dari berbagai wilayah di Lampung dan memimpin perang gerilya melawan Belanda pada Agresi Militer I tahun 1947 (AH. Nasution, 1994). 

 

Ketika Agresi Militer I terjadi pada 1947, Belanda melancarkan serangan serentak di sejumlah titik strategis, terutama di Sumatera Selatan. Saat itu, Belanda juga mulai menyerang Lampung, yang menjadi bagian inti Karesidenan Sumatera Selatan melalui jalur darat dari Palembang. Agresi militer Belanda memicu perlawanan laskar rakyat. Mereka bersama dengan TNI menggempur kekuatan Belanda dalam pertempuran di Kemarung (daerah di area hutan belukar yang terletak dekat Baturaja arah Martapura, Sumatera Selatan). Di sinilah terjadi pertempuran hebat antara laskar rakyat yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah yang bersenjatakan golok melawan Belanda. Maka pasukan ini juga disebut sebagai laskar golok.

 

Namun karena kalah teknologi senjata perang, anggota laskar banyak yang gugur dan tertawan, termasuk Kiai Ahmad  sendiri yang ditangkap hidup-hidup. Karena Kiai Ahmad kebal dengan peluru, maka Belanda mengeksekusinya pada 17 Agustus 1947 dengan cara dimasukan ke dalam karung dan ditenggelamkan di sungai Ogan. Maka hingga saat ini, jasad dan makamnya tidak ditemukan oleh para pejuang. 

 

Selama hidupnya, KH Ahmad Hanafiah telah mendedikasikan hidupnya demi perjuangan membebaskan masyarakat Lampung dari penjajahan dengan meningkatkan taraf hidup, baik secara ekonomi, pendidikan maupun mengangkat senjata. Kiai Ahmad juga pernah menjadi ketua Partai Masyumi.

 

Setelah pindah dari Sukadana ke Tanjungkarang awal tahun 1947, KH Ahmad Hanafiah mendapat amanah dari pemerintah Keresidenan Lampung untuk menjadi Wakil Kepala Kantor, merangkap Kepala Bagian Islam, Jawatan Agama Keresidenan Lampung. 


Kitab Karya KH. Ahmad Hanafiah

 

Karya Beliau yang masih bisa dijumpai melalui keturunannya adalah Kitab “al-Hujjah” dan “Tafsir Sirr al-Dahr. Kitab tersebut dihasilkan setelah selesai belajar dari Saudi Arabia (1930-1936 M). Sebelum diterbitkan, nasakahnya terlebih dahulu diuji dengan proses tashih (validasi) dan taqrizh (akurasi) oleh seorang ulama besar di Batavia, yakni Habib Abd al-Rahman al-Habasyi Kwitang. Naskahnya diterbitkan oleh kantor cetak dan toko Kitab Harun ibnu Ali Ibrahim Pekojen Batavia.  


Kitab Sirr al-Dahr menggunakan metode tafsir tahlili terhadap surat al-‘Ashar secara lengkap dan utuh. Uraiannya meliputi antara lain: pertama, makna dan pengertian rugi dan kerugian yang dialami manusia serta cara menghindar dari kerugian tersebut; kedua, iman dan amal shaleh; ketiga, saling menasehati dalam kebaikan; dan keempat, saling menasehati dalam kesabaran. 

 

Kitab al-Hujjah lahir sebagai upaya menjawab permasalahan yang dialami ummat Islam saat itu. Kitab ini membahas empat masalah fiqih yaitu: pertama, hukum shalat sunnah sebelum khutbah Jum’at; kedua, hukum mengangkat kedua tangan ketika membaca doa qunut pada saat shalat subuh; ketiga, hukum menyentuh mushaf bagi orang yang sedang berhadas; dan keempat, hukum membunyikan tabuhan dan memainkan alat musik. 

 

Sedangkan sanad keilmuan KH Ahmad Hanafiah terutama dalam bidang tasawwuf bersumber kepada Syeikh Abu al-Abbas Ahmad bin Mukhtar al-Tijani dan Syeikh Ali bin Abdillah al-Thoyyib al-Azhari (tarekat Tijaniyah), Syeikh Ismail al-Jabarti dan Syeikh Ahmad al-Qusyasyi (tarekat Syattariyah), Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani (tarekat Qadiriyah), Sayyidina al-Idrus dan Sayyidina Ahmad bin Idris (tarekat Idrisiyah), Syeikh Abu al-Hasan al-Syadzili (tarekat Syadziliyah), Imam Sanusi (tarekat Sanusiyah), H. Muhammad Noer, Syeikh Ahmad Waliyullah al-Dahlawi, Syeikh Abd al-Karim (tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah, TQN).  Wallahualam.

 

Penulis Merupakan Ketua Prodi Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab UIN Raden Intan Lampung