Lampung

NU Rawat Warganya Mulai dari Kandungan Hingga Liang Lahat

Ahad, 20 Februari 2022 | 19:30 WIB

NU Rawat Warganya Mulai dari Kandungan Hingga Liang Lahat

ilustrasi slametan, kenduri dan tahlilan

Sebagai organisasi yang besar, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki warga yang banyak dan majemuk. Mereka tersebar di seluruh Indonesia bahkan dunia.

 

Sejauh ini, organisasi NU bisa menampung dan mengkordinir warganya yang bermacam-macam karakter dan profesi. Mulai dari pelajar, buruh, budayawan, pengusaha, dokter, dan lain sebagainya. 

 

NU bukan hanya organisasi struktural, melainkan juga amal. Merawat warganya dengan amaliah harian, mingguan, bulanan dan tahunan. Hal ini merupakan bentuk bahwa NU sangat mengurus atau ngopeni warganya.  Merawat sebelum lahir hingga setelah mati. Sejak dalam kandungan hingga liang lahat. 


Itu artinya, NU merawat warganya secara fisik, mental dan ruhani. Bagaimana tidak, warga NU yang berumur empat bulan di dalam kandungan, sudah dirawat dengan didoakan empat bulanan. 

 

Banyak versi mengenai cara mendoakan jabang bayi yang ada di dalam kandungan ibunya. Ada yang menggunakan kelapa hijau dan air. Kelapa hijau yang utuh ditulisi huruf Arab yang terpisah-pisah (dirajah). Sedangkan airnya dibacakan surat-surat Al-Qur’an seperti surat Lukman, Yusuf, Maryam, dan sebagainya. 

 

Ada juga yang menggunakan tumpeng nasi kerucut. Dilengkapi dengan keluban, belkotok, telor rebus, bubur merah putih, dan daging ayam. Semua itu bertujuan, ketika jabang bayi yang akan lahir ke dunia agar lebih dimudahkan oleh Allah. Serta diberikan takdir yang baik oleh-Nya. Cara tersebut merupakan bentuk ikhtiar baik orang tua bagi calon anak-anaknya.  

 

Setelah empat bulanan. Ada lagi, yakni tujuh bulanan. Jabang bayi yang berumur tujuh bulan tersebut, didoakan kembali oleh keluarga, kerabat dan tetangganya.  Dishadaqahkan makanan tumpeng. Sebagian masyarakat menyebutnya “Pitonan”.  

 

Tidak cukup di dalam kandungan. Jabang bayi yang baru lahir ke alam dunia langsung diadzani telinga kanannya dan diqamati telinga kirinya. Dengan bertujuan agar kelak si jabang bayi menjadi manusia yang selalu beriman kepada Allah. Selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. 

 

Tradisi NU Salafus Shalih, selalu membiasakan membaca surat Al-Qadar sambil meletakkan tangan di atas kepala bayi. Dan membacakan surat Al-Insyirah sambil memegang dada sang bayi. Bertujuan agar kelak sang bayi tidak akan pernah bermaksiat zina seumur hidupnya. 

 

Setelah berumur tujuh hari di dunia, jabang bayi di aqiqahi. Dengan memotong dua kambing jika anaknya laki-laki, dan satu kambing jika perempuan. Kemudian  dipotong rambutnya dan diberi nama yang baik. Selama proses aqiqah, warga NU selalu menggunakan tradisi membacakan kisah-kisah Nabi Muhammad Saw, atau disebut “marhaban".

 

Membacakan kisah Nabi tidak sembarang buku, melainkan menggunakan kitab maulid Barzanji, Burdah dan Simtudduror. 

 

Tradisi amaliah NU selalu mengajarkan untuk menjadi manusia yang baik dan bermanfaat bagi orang lain. Ada tradisi yang tidak akan pernah ditinggalkan oleh warga NU, seperti mendatangi ulama, habib, syekh dan kiai untuk mendoakan anaknya, agar menjadi orang saleh, berkah dan bermanfaat bagi umat. Tradisi ini disebut dengan “sowan”. 

 

Di kampung-kampung, anak-anak warga NU yang masih bayi hingga balita, masih didoakan dengan cara “among-among”. Yakni menyedekahkan tumpeng yang berisi telur rebus, belkotok kelapa, lalapan dan bubur merah putih.  Didoakan ketika tepat di hari lahirnya sang anak. 

 

Seperti jika anak tersebut lahir hari Senin, maka setiap hari Senin orang tuanya akan membuat sedekah tumpeng, mengundang anak-anak tetangga untuk mendoakan. Karena doa anak-anak yang masih belum berdosa, akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan. Dengan tujuan mendoakan anak tepat di hari lahirnya, supaya anak tersebut tidak rewel dan menjadi anak yang cerdas. 

 

Selain dibuatkan tumpeng dan didoakan ketika tepat di hari lahirnya, biasanya warga NU yang memiliki anak, terutama ibu juga ikut menirakati anaknya dengan berpuasa pas di hari lahir anaknya. Atau disebut juga dengan puasa “weton".

 

Warga NU sudah maklum dengan tirakat atau riyadlah semacam ini. Maksud dan tujuannya agar anaknya patuh kepada orang tua, tidak membantah, atau melawannya. Hasil tirakat puasa weton tersebut biasanya juga menjadikan sang anak memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Tradisi ini masih banyak dilakukan oleh mayoritas warga Nahdliyin secara turun-temurun. 

 

Setelah dewasa warga NU akan diberikan pendidikan yang terbaik oleh orang tuanya dengan cara menyerahkan anaknya kepada kiai di kampung ataupun di pondok pesantren untuk dididik ilmu agama seperti Al-Qur’an, ilmu tajwid, fiqih, nahwu, Sharaf, dan akhlak. 

 

Warga NU juga memiliki tradisi yang unik ketika memondokkan anaknya di pesantren. Biasanya sebelum keberangkatan anaknya ke pondok, keluarga, kerabat dan tetangganya mengadakan selametan atau kenduri dengan cara membuat sedekah nasi tumpeng, untuk dibacakan doa.

 

Setelah anaknya di pondok, NU mengajarkan agar orang tuanya juga ikut bertirakat dengan cara memberikan hadiah fatihah setelah shalat fardlu kepada anak-anaknya. Dengan tujuan agar anak-anaknya betah mondok, digampangkan semua proses pembelajarannya dan diberikan kecerdasan.  

 

Ketika ada warga NU yang wafat, maka warga NU yang lain pun akan tetap merawatnya dengan amaliah-amaliah Nahdliyyin. Seperti ketika hendak menguburkan jenazah, mengadzani dan mengqamati mayit.

 

Setelah tanah diratakan, kemudian dibacakan talqin, yang bertujuan agar kata-kata talqin menjadi penuntun di alam kubur. Setelah itu dibacakan juga surat Al-Mulk serta tahlil dan doa, agar malam pertama mayit di dalam kubur mendapatkan cahaya, berkah dari surat Al-Mulk. 

 

Warga NU merawat sesama warganya yang meninggal, tidak berhenti sampai menguburkan. Melainkan berlanjut sampai mayit berumur tiga hari, tujuh hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari di alam kubur. Tetap di bacakan Yasin, Tahlil dan doa. Agar mayit NU tersebut selalu mendapatkan ampunan dari Allah dan dilapangkan kuburnya. 

 

Setelah selesai seribu hari, maka warga NU akan tetap mendoakan secara tahunan, atau disebut juga dengan “haul". Memperingati ulang tahun kematian warga NU, dengan cara dibacakan surat Yasin, Tahlil dan doa.  

 

Begitulah uniknya orang NU. Mengadakan seremonial ulang tahun kelahiran didoakan. Mengadakan ulang tahun kematian juga didoakan. 

 

Belum lagi setiap malam Jum'at. Ada jutaan warga NU yang mendoakan ahli kubur atau orang yang sudah wafat. Agar selalu diberikan nutrisi doa-doa dari surat Al-fatihah, surat Yasin, shalawat, tahlil dan doa.

 

Sehingga sejak dalam kandungan hingga liang lahat, warga NU selalu didoakan dan saling mendoakan. Sebegitu kompleknya menjadi warga NU, selalu bergelimang doa-doa dan sedekah.

 

Yudi Prayoga, Sekretaris MWCNU Kedaton Bandar Lampung