Nasional

8 Anjuran saat Idul Fitri

Jum, 21 April 2023 | 17:30 WIB

8 Anjuran saat Idul Fitri

Shalat Idul Fitri, salah satu anjuran yang bisa dilakukan umat Islam. (Foto: NU Online/Freepik)

Jakarta, NU Online 
Idul Fitri dirayakan dengan penuh kegembiraan. Berbagai ekspresi sukacita diungkapkan pada hari istimewa itu. Dalam mengisi perayaan Idul Fitri tersebut, umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan delapan kegiatan. Hal ini sebagaimana ditulis Ustadz M Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat dalam tulisan '8 Kesunnahan saat Idul Fitri dan Penjelasannya'

 
  1. Shalat Idul Fitri

Shalat Idul Fitri hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dikukuhkan), baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan, sebagian pendapat menyatakan fardhu kifayah (kewajiban kolektif). Shalat ini disunnahkan dilaksanakan secara berjamaah di masjid ataupun di lapangan jika masjid tidak dapat menampung jamaah pada waktu pagi setelah matahari terbit sampai masuk waktu dzuhur.


Salah satu dalil kesunnahannya adalah firman Allah dalam surat Al-Kautasar:


فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka shalatlah kepada Tuhanmu dan berkurbanlah,” (QS. Al-Kautsar ayat 2). 


Mayoritas pakar tafsir menegaskan bahwa yang dimaksud shalat di dalam ayat itu adalah shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adlha). Dalil lainnya adalah bahwa Nabi rutin melaksanakan shalat Idul fitri di setiap tahunnya.


Nabi Muhammad saw kali pertama mendirikan shalat Idul Fitri adalah pada tahun kedua sejak hijrah ke Madinah, pada tahun di mana perintah kewajiban puasa Ramadhan turun di bulan Sya’bannya (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 39). 

 
  1. Mandi

Laki-laki maupun perempuan disunnahkan untuk mandi pada hari raya Idul Fitri, sekalipun tengah haid ataupun nifas. Kesunnahan ini juga berlaku bagi yang tidak menghadiri shalat Idul Fitri, seperti orang sakit. Waktu mandi ini dimulai sejak tengah malam Idul Fitri sampai tenggelamnya matahari di keesokan harinya. Namun, utamanya mandi ini dilakukan setelah terbit fajar sebagaimana diterangkan Syekh Sulaiman al-Bujairimi dalam Tuhfah al-HabibAla Syarh al-Khathib (juz 1, hal. 252). 


Contoh niatnya adalah sebagai berikut.


 نَوَيْتُ غُسْلَ عِيْدِ الْفِطْرِ سُنَّةً لِلهِ تَعَالَى 

 

“Aku niat mandi Idul fitri, sunnah karena Allah”.  

 
  1. Menghidupkan malam Idul Fitri dengan ibadah

Dianjurkan menghidupi malam hari raya dengan shalat, membaca shalawat, membaca Al-Qur’an, membaca kitab, dan bentuk ibadah lainnya. Anjuran ini berdasarkan hadits Nabi, “Barangsiapa menghidupi dua malam hari raya, hatinya tidak mati di hari matinya beberapa hati”. (HR. al-Daruquthni). Meskipun tergolong lemah, hadits ini tetap bisa dipakai sebab berkaitan dengan keutamaan amal, tidak berbicara halal-haram atau akidah.


Kesunnahan ini bisa hasil dengan menghidupi sebagian besar malam hari raya. Pendapat lain cukup dengan sesaat. Riwayat dari Ibnu Abbas, dengan cara shalat Isya berjamaah dan bertekad melaksanakan shalat Subuh berjamaah.


Pada malam hari Idul Fitri ini juga disunnahkan untuk memberbanyak doa, sebab termasuk waktu yang mustajab (diijabah) sebagaimana terkabulnya doa di malam Jumat, dua malam awal bulan Rajab, malam Idul Adha dan malam Nishfu Sya’ban (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).

 
  1. Memperbanyak bacaan takbir

Salah satu syi’ar yang identik dengan Idul Fitri adalah kumandang takbirnya. Anjuran memperbanyak takbir ini berdasarkan firman Allah, “Dan sempurnakanlah bilangan Ramadhan, dan bertakbirlah kalian kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah: 185).


Ada dua jenis takbir Idul Fitri. Pertama, muqayyad (dibatasi), yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat, baik fardhu atau sunnah. Setiap selesai shalat, dianjurkan untuk membaca takbir. Kedua, mursal (dibebaskan), yaitu takbir yang tidak terbatas setelah shalat, bisa dilakukan di setiap kondisi. Takbir Idul Fitri bisa dikumandangkan di mana saja, di rumah, jalan, masjid, pasar atau tempat lainnya.


Kesunnahan takbir Idul fitri dimulai sejak tenggelamnya matahari pada malam 1 Syawal sampai takbiratul Ihramnya imam shalat Id bagi yang berjamaah, atau takbiratul Ihramnya mushalli sendiri, bagi yang shalat sendirian. Pendapat lain menyatakan waktunya habis saat masuk waktu shalat Id yang dianjurkan, yaitu ketika matahari naik kira-kira satu tombak (+ 3,36 M), baik Imam sudah melaksanakan Takbiratul Ihram atau tidak. (Syekh Sa’id Bin Muhammad Ba’ali Ba’isyun, Busyra al-Karim, hal. 426). 

 
  1. Jalan kaki menuju tempat shalat

Berjalan kaki menuju tempat shalat Idul Fitri hukumnya sunnah. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Sayyidina Ali, “Termasuk sunnah Nabi adalah keluar menuju tempat shalat Id dengan berjalan”. (HR. al-Tirmidzi dan beliau menyatakannya sebagai hadits Hasan).


Bagi yang tidak mampu berjalan kaki seperti orang tua, orang lumpuh dan lain sebagainya diperbolehkan untuk menaiki kendaraan. Demikian pula boleh kepulangan dari shalat Id dilakukan dengan tidak berjalan kaki. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 282). 

 
  1. Membedakan rute jalan pergi dan pulang dari dan ke tempat shalat Idul Fitri

Rute perjalanan pergi dan pulang dari tempat shalat Id hendaknya berbeda. Dianjurkan rute keberangkatan lebih panjang dari pada jalan pulang. Hal ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.


Di antara hikmahnya adalah agar memperbanyak pahala menuju tempa ibadah. Anjuran ini juga berlaku saat perjalanan haji, membesuk orang sakit dan ibadah lainnya, sebagaimana ditegaskan al-Imam al-Nawawi dalam kitab Riyadl al-Shalihin

 
  1. Berhias

Idul fitri adalah waktunya berhias dan berpenampilan sebaik mungkin untuk menampakkan kebahagiaan di hari yang berkah itu. Berhias bisa dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik dan pakaian terbaik.


Lebih utama memakai pakaian putih, kecuali bila selain putih ada yang lebih bagus, maka lebih utama mengenakan pakaian yang paling bagus, semisal baju baru.


Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa tradisi membeli baju baru saat lebaran menemukan dasar yang kuat dalam teks agama, dalam rangka menebarkan syiar kebahagiaan di hari raya Idul Fitri.


Kesunnahan berhias ini berlaku bagi siapapun, meski bagi orang yang tidak turut hadir di pelaksanaan shalat Idul Fitri. Khusus bagi perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat, seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat laki-laki lain yang bukan mahramnya dan lain sebagainya. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281). 

 
  1. Memberi ucapan selamat

Hari raya adalah hari yang penuh dengan kegembiraan. Karena itu, dianjurkan untuk saling memberikan selamat atas kebahagiaan yang diraih saat hari raya. Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunannya menginventarisir beberapa hadits dan ucapan para sahabat tentang tradisi ucapan selamat di hari raya. Meski tergolong lemah sanadnya, tetapi rangkaian beberapa dalil tersebut dapat dibuat pijakan untuk persoalan ucapan hari raya yang berkaitan dengan keutamaan amal ini.


Argumen lainnya adalah dalil-dalil umum mengenai anjuran bersyukur saat mendapat nikmat atau terhindari dari mara bahaya, seperti disyariatkannya sujud syukur. Demikian pula riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang kisah tobatnya Ka’ab bin Malik setelah beliau absen dari perang Tabuk, Talhah bin Ubaidillah memberinya ucapan selamat begitu mendengar pertobatannya diterima.


Ucapan selamat itu dilakukan dihadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya. Tidak ada aturan baku mengenai redaksi ucapan selamat ini. Salah satu contohnya “taqabbala allahâhu minnâ wa minkum”, “kulluâmin wa antum bi khair”, “selamat hari raya Idul Fitri”, “minal aidin wa al-faizin”, “mohon maaf lahir batin”, dan lain sebagainya.


Pada prinsipnya, setiap kata yang ditradisikan sebagai ucapan selamat dalam momen hari raya, maka sudah bisa mendapatkan kesunnahan tahniah ini. Bahkan, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan tahniah juga bisa diwujudkan dalam bentuk saling bersalam-salaman. Karena itu, sangat tidak tepat klaim dari sebagian kalangan bahwa ucapan selamat hari raya yang berkembang di Indonesia tidak memiliki dasar dalil agama.


Pewartaa: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin