Nasional

Agar Pertanian Maju, Pola Pikir Petani Perlu Berubah

Kam, 17 Oktober 2019 | 12:00 WIB

Agar Pertanian Maju, Pola Pikir Petani Perlu Berubah

Arief dan mesin pompa air bertenaga gas elpiji. (Foto: NU Online/Aryudi Razaq)

Jember, NU Online 
Petani Indonesia, khususnya di perdesaan sebenarnya bisa diajak maju. Mereka terbuka untuk menerima masukan terkait pengembangan pertanian. Namun untuk mengamini itu, masih butuh waktu. Sebab mereka sudah terbiasa bertani dengan pola lama yang puluhan tahun sudah dijalankannya. Contohnya, anjuran menggunakan pupuk organik, hingga saat ini masih banyak yang ‘mbalelo’. Sebab, mereka sudah telanjur urea minded. Karena itu, petani yang benar-benar menggunakan pupuk berbahan baku kotoran ternak tersebut, bisa dihitung dengan jari.

“Yang susah itu ‘kan mengubah pola pikir, mengubah kebiasaan, tapi bukan berarti tidak mungkin,” ungkap tokoh pemuda petani, Arief Suratno kepada NU Online di kediamannya, Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember Jawa Timur, Rabu (16/10).

Arief Suratno lahir 43 tahun lalu di Jember, Jawa Timur. Kecintaannya kepada pertanian memang tumbuh sejak awal. Pilihan kuliahnya di Politeknik Negeri Jember (1993) karena didasari oleh keinginan untuk memahami seluk beluk pertanian. Namun karena terkendala biaya, akhirnya Arief harus keluar dari bangku kuliah saat menginjak semester dua. 

Arief lalu mengadu untung ke Sumatra Barat, dan situ ia bekerja di perkebunan kakao. Tahun 1997 ia memutuskan pulang kampung. Keinginannya untuk bergelut dengan pertanian, kembali tumbuh. Iapun meneruskan kuliah ke Universitas Wisnuwardhana (Malang, Jawa Timur) mengambil jurusan sosial ekonomi pertanian hingga selesai.

“Ekonomi pertanian itu bagian dari ilmu ekonomi umum, namun terkait dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanian. Jadi bukan pertanian an sich,” ucapnya.

Ilmu dan keterampilan yang didapat Arief dari bangku kuliah, akhirnya menemukan tempatnya saat ia direkrut Dinas Pertanian Kabupaten Jember (2008) sebagai Tenaga Harian Lepas dengan tugas punyuluh pertanian. Meski sama sekali bukan jabatan yang wah, namun ia mengaku bangga dengan posisi yang disandangnya. Sebab ia bisa bertani sendiri, berbaur dengan petani dan bisa memberikan masukan kepada petani untuk kemajuan pertanian.

“Anda jangan tanya honor saya berapa. Untuk menghidupi keluarga saya ada pekerjaan sampingan,” terangnya.

Area wilayah penyuluhan Arief adalah Desa Kertosari, Kecamatan Pakusari, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di desa itulah ia menumpahkan perhatiannya, memberi penyuluhan, membuka konsultasi demi kemajuan pertanian di desa tersebut.

Memang, menghadapi petani di desa yang rata-rata tingkat pendidikan penduduknya rendah, butuh modal khusus. Modal itu adalah kesabaran dan keuletan. Untuk mengembangkan pertanian, perlu perubahan. Dan perubahan itu berangkatnya adalah dari pola pikir.

Diakui Arief, untuk mengubah pola pikir petani, memang butuh kesabaran. Ya kesabaran untuk menjelaskan, meyakinkan, dan kesabaran menunggu. Namun sesungguhnya yang diperlukan petani adalah bukti bahwa dengan perubahan itu, pertaniannya semakin baik dan hasilnya kian banyak. Selain itu, faktor kepraktisan juga. 

“Jadi kalau mereka yakin bahwa dengan perubahan itu, pertaniannya semakin baik, tentu mereka mau asalkan ongkosnya tidak mahal juga, dan tidak terlalu jlimet (ruwet),” ungkapnya. 

Arief mencontohkan, tahun 2016 Jember mendapat bantuan Rice Transplanter (mesin tanam benih padi) dari pemerintah pusat. Semula mesin tersebut dipandang aneh, tak banyak yang merespon. Tapi lama kelamaan juga banyak yang merespon meski tidak semuanya. Di setiap forum penyuluhan, ia tak henti-hentinya melakukan sosialisasi mesin itu.

Di hadapan petani, Arief membandingkan keunggulan antara Rice Transplanter  dan manual (tenaga manusia) dalam menanam benih padi. Katanya, dengan sistem manual dalam satu hektar dibutuhkan 30 orang untuk menanam benih padi agar selesai dalam sehari, ditambah dengan tenaga pencabut benih padi minimal 3 orng. Total tenaga yang dibutuhkan adalah 33 orang, dan itu membutuhkan ongkos yang tidak bisa dihitung kecil juga.

“Tapi dengan Rice Transplanter hanya butuh tenaga dua orang. Jadi ini jelas lebih praktis, dan ongkosnya pun lebih murah. Tapi banyak tenaga kerja yang tak terpakai. Makanya kita mesti bijak dalam menerapkan teknologi pertanian,” ucapnya.

Rice Transplanter merupakan salah satu usaha pemerintah dalam memajukan dan mengembangkan teknologi pertanian untuk menghasilkan sesuatu yang lebih, baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Dan itu memang seharusnya karena Indonesia adalah negara agraris. Bagi Arief, perhatian pemerintah untuk sektor pertanian tidak boleh setengah-setengah. Sebab puluhan juta warga menggantungkan hidup pada sektor ini. Dan rakyat Indonesia seluruhnya tentu masih membutuhkan hasil-hasil pertanian. 

“Maka pemerintah tak bijak jika mengabaikan sektor pertanian,” sergahnya.

Rupanya Arief tidak hanya menjadi motivator di kelompk petani binaannya, tapi juga berinisiatif untuk mengatasi susahnya aliran air ketika musim kemarau. Jika kemarau datang, petani biasanya menggunakan mesin pompa air untuk menarik air dari sungai ke sawahnya. Namun usaha ini juga tidak gampang-gampang amat, karena terkait dengan biaya pembelian solar atau bensin. Biasanya satu hektar sawah membutuhkan aliran air selama 40 jam untuk disebut tuntas. 

Untuk mengatasi itu, Arief mencoba ‘merenovasi’ mesin pompa air bertenaga gas elpiji. Caranya dibuat sesederhana mungkin agar murah. Kalau yang sudah ada dan dipraktekkan di mana-mana, mesin pompa air itu bahan bakarnya diubah ke gas elpiji dengan menggunakan ‘konverter’ yang harganya sekitar Rp. 350.000,- Namun pompa air hasil renovasi Arief hanya menggunakan regulator tekanan tinggi plus selang gas secukupnya. Dengan model pompa air seperti ini, satu tabung gas elpiji berukuran 3 kilogram yang harganya Rp. 17.500,- kekuatannya sama dengan tujuh liter bensin. 

“Jadi kalau kita pakai satu tabung elpiji itu kekuatan menyedot air sama dengan menghabiskan bensin tujuh liter bensin,” terangnya.

Walaupun demikian, Arief mengakui bahwa pompa air hasil renovasinya tersebut tidak memiliki legaltias sebagaimana dibutuhkan. Sebab itu hanya terobosan untuk petani (dengan biaya murah) dalam menghadapi paceklik air. Baginya, petani harus dibantu dan dicarikan jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya.

“Karena petani adalah aset bangsa yang utama,” ujarnya.

Apa yang dilakukan Arief tak lebih dari sekadar bentuk kecintaannya pada pertanian. Sebab petani dan pertanian bukan hanya aset bangsa tapi jati diri Indonesia. Dan menjadi aneh jika negara agraris seperti Indonesa justru rapuh di sektor pertaniannya. Karena itu, ketekunan Arief dalam membina petani, meskipun belum menggapai prestasi namun laik dihargai. Semoga. 

Pewarta: Aryudi AR
Editor: Abdullah Alawi