Jakarta, NU Online
Bagi sastrawan Ahmad Tohari, seperti halnya ketika menulis novel, menulis cerita pendek (cerpen) adalah bentuk pengabdian kepada pembangunan karakter.
Hal itu dikatakannya kepada NU Online usai Jamuan Cerpen Pilihan Kompas 2017 di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (28/6) malam.
Selain itu, menulis cerpen juga merupakan dakwah kultural atau dakwah melalui budaya. “Dalam cerpen diselipan nilai-nilai kemanusiaan atau humaniora yang hampir semuanya juga sejalan dengan ajaran Islam,” ungkap sastrawan yang masih kelihatan bugar di usianya yang tahun ini genap 70 tahun.
Pada malam itu diumumkan sekaligus diluncurkan buku Cerpen Pilihan Kompas 2017. Karya Tohari, Paman Klungsu dan Kuasa Pluitnya, masuk bersama 20 karya penulis lainnya dalam buku tersebut. Raihan ini menandai Tohari selama tiga tahun berturut-turut sejak 2015, masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas. Pada Cerpen Pilihan Kompas 2015 yang diluncukran tahun 2016, Anak Ini Ingin Mengencingi Jakarta, bahkan menjadi cerpen terbaik.
Atas raihan tersebut, Tohari menegaskan bukan sebagai kebanggan. Dengan masuknya Tohari sebagai sastrawan ‘sepuh’ dalam prestasi-prestasi itu, membuatnya merasa tidak pergi dari ruang yang seharusnya diisi anak-anak (penulis) muda.
“Tidak ada niatan untuk terpilih. Tapi dengan kekhasan yang ditampilkan melalui karya saya, hanya berharap semoga bermanfaat,” ungkap penulis yang melambung berkat novel triloginya Ronggeng Dukuh Paruk.
Ditambahkan, sebetulnya cerpen bagi Tohari sudah selesai ketika ditulis. “Tidak terbit pun tetap puas ketika menyelesaikan cerpen,” ujarnya.
Ia mengatakan sangat berharap generasi di bawahnya lebih maju dan dapat menampilkan karya-karya mereka. Hal itu agar kesusatraan Indonesai lebih maju dan berkembang. (Kendi Setiawan)