Tangerang Selatan, NU Online
Guru Mughni terlahir sama dengan yang lainnya. Tidak ada yang istimewa. Namun, saat berusia tujuh tahun, terlihat tanda-tanda kecerdasan dan kharisma pada dirinya. Lalu ia dikirim orang tuanya untuk belajar agama di Makkah, sebagai sumber keilmuan pada masa itu.
Demikian disampaikan Amirah A. Nawawi saat menjadi narasumber dalam diskusi dengan tema "Jejak Guru Mughni Muallim di Tanah Betawi" di Islam Nusantara Center Tangerang Selatan, Sabtu (26/8).
Amirah menuturkan, Guru Mughni sangat aktif dalam mencari ilmu saat di Makkah. Tidak ada majelis ilmu yang tidak diikuti. Sehingga ia memang benar-benar mendalam ilmu agamanya.
Oleh sebab itu, Guru Mughni tidak mudah mengklaim ataupun menyalahkan yang lainnya saat ia kembali ke kampung halamannya di Kuningan Jakarta.
“Beliau mengamati dulu,” kata Amirah.
Menurut dia, Guru Mughni selalu menekankan tiga hal saat mengajar kepada semua murid-muridnya. Pertama, akidah. Ia menenkan pengajaran akidah kepada muridnya sehingga murid tersebut memiliki bekal keimanan yang kukuh dan tidak berpindah agama.
“Yang kedua fikih. Anak-anak (murid-murid) ini harus benar-benar tahu fikih. Tidak boleh tidak. Kenapa? Karena fikih yang dipakai untuk keseharian kita dalam muamalah dan dalam ibadah,” jelasnya.
Ketiga, akhlak. Guru Mughni juga menekankan pendidikan akhlak atau karakter kepada anak didiknya sehingga mereka memiliki kepribadian yang kuat.
Abdul Mughni merupakan salah satu peletak pilar penyebaran Islam di tanah Betawi pada akhir abad ke-19. Ia lahir dari pasangan H. Sanusi bin Ayyub dan Hj. Da’iyah binti Jeran. Guru Mughni pernah belajar di Makkah selama empat belas tahun. (Muchlishon Rochmat/Abdullah Alawi)