Nasional ENSIKLOPEDI NU

Al-Fadhailul A'mal

Jum, 2 November 2012 | 10:10 WIB

Al-Fadhailul A’mal adalah khazanah Ahlussunnah wal Jama’ah yang diikuti masyarakat NU berupa gemar mengerjakan amal-amal kebajikan atau amal-amal utama.

<>

Secara bahasa, fadhail jamak dari kata fadhilah yang bermakna keutamaan, dan al-a’mal jamak dari kata al-`amal yang bermakna perbuatan. 

Al-Fadhailul A’mal ini berkaitan dengan keutamaan-keutamaan akhlak, bukan berkaitan dengan ketentuan halal haram, atau keyakinan akidah. Dalam masalah-masalah keutamaan akhlak ini, bisa berupa menjalankan shalat sunnah, memperbanyak puasa, memperbanyak dzikir, wirid, i’tikaf, dan lain-lain.

Praktik Al-Fadhailul A’mal ini ada yang disandarkan berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, seperti memperbanyak shalawat karena adanya perintah untuk bershalawat kepada Nabi, termasuk para malaikat pun bershalawat kepadanya; memperbanyak dzikir karena ada perintah untuk berdzikir sebanyak-banyaknya; perintah keutamaan sedekah; dan masih banyak lagi. 

Al-Fadhailul A’mal juga didasarkan pada hadits Nabi Muhammad saw. yang ada dalam kitab-kitab hadits. Manakala dasarnya dari hadits Nabi yang shahih dan hasan, Al-Fadhailul A’mal tidak menjadi bahan perdebatan.

Hal yang menjadi perdebatan adalah bila Al-Fadhailul A’mal itu didasarkan pada hadits-hadits dha`if. Dalam disiplin ilmu hadits, pengertian hadits dha`if ini adalah hadits yang tidak memiliki derajat shahih dan hasan, baik dari sudut sanad atau matannya. 

Hadits shahih sendiri berarti hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh para perawi yang adil, dari awal sampai akhir, dan tidak mengandung syadz (cacat/janggal) dan terkena `illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya. Sedangkan hadits hasan, hampir sama dengan hadits shahih, hanya berbeda di tingkat perawinya yang tidak benar-benar kuat ingatannya, tetapi sama-sama bebas dari keganjilan dan `illat yang menyebabkan cacat.

Jadi, hadits dha`if adalah hadits yang tidak mencapai derajat shahih dan hasan. Tentang hadits dha`if ini sebagian ahli tidak menerimanya sebagai hujjah. Akan tetapi, sebagian besar yang lain menerimannya untuk hal-hal Al-Fadhailul A’mal. 

Mereka yang berpandangan terakhir ini  di antaranya Imam Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman al-Mahdi, dan Abdallah bin Mubarak. Sebagaimana disebutkan Subhi Shalih dalam Ulumul Hadits wa Musthalahuhu, mereka sering dikutip karena mengatakan “apabila kami meriwayatkan tentang halal dan haram kami memperketat, dan apabila kami meriwayatkan keutamaan-keutamaan dan semisalnya kami mempermudah.” 

Tidak hanya ketiga imam itu, para ulama hadits dan yang lainnya setuju bahwa hadits dha`if dapat dijadikan pedoman dalam masalah Al-Fadhilul A’mal, seperti Sufyan ats-Tsauri dan Sufyan Uyainah, al-Anbari, dan yang lainnya. 

Mereka yang menerima hadits dha`if untuk Al-Fadhailul A’mal ini mensyaratkan tiga hal: Pertama, hadits itu tidak terlalu dha`if, atau perawinya tidak terkenal sebagai pendusta, fasik, atau orang yang dikenal melakukan kesalahan-kesalahan; kedua, isi hadits itu termasuk dalam kaidah umum atau prinsip umum yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits, sehingga tidak menyelisihi keduanya; dan ketiga, hadits itu dijalankan untuk berhati-hati dan tidak meyakini itu bersumber dari Nabi.

Dengan demikian, meski hadits dha`if tidak sampai pada derajat shahîh dan hasan, tidak serta-merta kemudian ditolak secara keseluruhan. Dalam hal-hal Al-Fadhailul A’mal, sebagaimana disebutkan tadi, sebagian imam Ahlussunnah wal Jama`ah masih memperkenankan dengan syarat-syarat di atas. 

Dengan dasar demikianlah, masyarakat NU juga mengakui, menerima, sebagian mengamalkan hadits dha`îf untuk Al-Fadhailul A’mal. Mereka yang tidak mengamalkan, tidak menentang mereka yang menjalankan Al-Fadhailul A’mal untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mereka yang menjalankan Al-Fadhailul A’mal berharap mendapat ridha Allah karena berhati-hati, yaitu teramat sedikitnya amal yang dilakukan di dunia, sehingga mereka ini menambah amalnya dari sisi kualitas dan kuantitas. (Sumber: Ensiklopedi NU)